Minggu, 28 Februari 2010

Sosok Ideal Seorang Da’i

Oleh
Ustadz Abu Saad Mohammad Nur Huda


Sesungguhnya menyeru menuju jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala merupakan tugas Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Demikian juga para pengikutnya, sebagaimana telah dijelaskan dalam firman Allah :

قُلْ هَـذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللّهِ وَمَا أَنَاْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Katakanlah: "Inilah jalanku (agamaku). Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Mahasuci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". [Yusuf:108]

Syaikh As Sa’di berkata tentang ayat ini di dalam tafsirnya : “Ini adalah jalanku yang aku menyeru kepadanya, dan jalan inilah yang mengantarkan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala menuju taman kemuliaanNya dan mengandung makna mengetahui kebenaran, beramal dengannya, mendahulukan itu semua sebelum yang lainnya, serta mengikhlaskan agama hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala semata tidak ada sekutu bagiNya”.

Tujuan dakwah para rasul dan juga para pengikutnya, secara keseluruhan ialah mengeluarkan manusia dari gelapnya kejahilan menuju cahaya Allah Subhanahu wa Ta'ala, dari kekufuran kepada keimanan, dari kesyirikan menuju tauhid dan dari kesempitan dunia menuju kemaha-luasan akhirat. Ini merupakan tugas yang sangat mulia, tugas para da’i, para penyeru menuju jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala, jalan menuju keimanan, ikhlas dalam beribadah kepadaNya, tunduk kepada hukum-hukumNya dan merealisasikannya dalam kehidupan; dan juga seruan untuk berakhlak mulia, menunaikan hak-hak sesama dan berbuat adil. Dengan semua ini, akan terwujudlah rasa kasih-sayang, persaudaraan di antara orang-orang yang beriman, memunculkan rasa aman secara sempurna, terbentuk aturan yang tertib dan rapi di bawah naungan undang-undang Ilahi, dan tersingkirkanlah aturan-aturan jahiliyah, keyakinan-keyakinan batil dan juga akhlak yang tercela dari kehidupan kaum Muslimin.

Oleh karena itu, dakwah mempunyai kedudukan sangat tinggi dalam agama. Demikian juga dengan para juru dakwah, sebagaimana dipaparkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam KitabNya :

وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung" [Ali Imran:104]

Allah Subhanahu wa Ta'ala juga menjelaskan tentang keutamaan seorang da’i.

"Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata "sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri". [Fushshilat:33].

Sehingga apabila seorang da’i menghendaki dakwahnya membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan, maka selayaknya menghiasi pribadinya dengan akhlak yang merupakan sebagian faktor utama yang dapat mendukung keberhasilan dakwahnya, di antaranya sebagai berikut ini.

Pertama : Ikhlas Dalam Berdakwah.
Motivasi utama bagi seorang da’i tatkala berdakwah ialah rasa cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, kepada agamaNya, kepada sesamanya, mengharapkan kebaikan untuk orang yang didakwahi. Keikhlasan da’i dalam dakwahnya, merupakan perkara yang paling penting bagi keberhasilan dakwahnya, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala kabarkan tentang para nabi tatkala mereka berkata kepada kaumnya :

فَإِن تَوَلَّيْتُمْ فَمَا سَأَلْتُكُم مِّنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى اللّهِ وَأُمِرْتُ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ

"Jika kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta upah sedikitpun daripadamu. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka, dan aku disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri (kepadaNya)". [Yunus:72]

Jika dakwah didasarkan bukan karena ikhlas, tetapi karena riya’, mengharap kedudukan, harta ataupun kepentingan dunia lainnya, maka tidak dapat disebut sebagai dakwah karena Allah Subhanahu wa Ta'ala, melainkan seruan untuk dirinya sendiri, kepentingan pribadi atau maksud-maksud lainnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memberi peringatan tentang hal ini dalam firmanNya:

مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَ يُبْخَسُونَ {15} أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلاَّ النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُواْ فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ

"Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna, dan mereka, di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan".[Hud:15-16]

Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata : “Sesungguhnya, orang-orang yang riya’, mereka diberi kebaikan di dunia, dan tidak di dirugikan sedikitpun. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman ‘barangsiapa beramal shalih namun tujuannya untuk mencari dunia, Aku akan membalas perbuatan mereka dengan sempurna di dunia, tetapi sia-sialah apa yang dia perbuat. Dan di akhirat, ia termasuk orang-orang yang merugi’.”

Kedua : Ilmu.
Tentang ilmu, ini meliputi tiga perkara :
a). Ilmu agama.
Seorang da’i harus mengetahui syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya, sehingga mampu berdakwah di atas ilmu dan hujjah. Allah telah menjelaskan dalam firmaNya :

قُلْ هَـذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللّهِ وَمَا أَنَاْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

"Katakanlah: "Inilah jalanku (agamaku). Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". [Yusuf : 108].

Makna bashirah dalam ayat ini ialah ilmu. Yang dengan ilmu ini, seorang da’i akan mampu mempertahankan apa yang didakwahkannya dari segala bentuk syubhat ataupun kerancuan, menegakkan hujjah terhadap para penentangnya, sehingga kebenaran bisa diterima dengan ijin Allah Subhanahu wa Ta'ala. Orang yang tidak memiliki ilmu, tidaklah pantas untuk menjadi seorang da’i, karena akan lebih banyak membuat kerusakan dibanding perbaikan. Berapa banyak kerugian yang disebabkan para da’i karbitan, baik pada dirinya, ataupun pada dakwah itu sendiri. Tanpa memiliki ilmu, maka runtuhlah da’i itu dihadapkan kebatilan yang disebabkan karena kejahilannya atas apa yang didakwahkannya. Oleh sebab itu, dilarang menempatkan seseorang yang tidak berilmu sebagai da’i.

b). Ilmu tentang keadaan orang yang hendak didakwahinya.
Dengan mengetahui keadaan orang yang hendak didakwahinya, sehingga seorang da’i sudah mempersiapkan dirinya untuk menghadapi medan dakwah di depannya. Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus Muadz ke Yaman, Beliau n memberikan wasiat :

إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ

"Sesunggungnya engkau akan mendatangi kaum dari ahli kitab". [HR Bukhari, Juz 4, hlm. 1580]

Dalam hadist ini Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan kepada siapa dia diutus, sehingga dia mengetahui yang akan dihadapinya, kemudian mempersiapkan diri. Sebaliknya, jika seorang da’i tidak mengetahui keadaan orang yang hendak didakwahi, maka akan berdampak buruk pada dakwahnya, sehingga mungkin tidak tepat sasaran dan gagal.

c). Seorang da’i hendaklah mengetahui ilmu tentang metode dakwah.

Ketiga : Beramal Dengan Apa Yang Didakwahkan.
Ini merupakan sifat yang wajib dimiliki seorang da’i. Dia harus menjadi suri tauladan bagi orang lain tentang apa yang didakwahkannya, sehingga bukan termasuk orang yang mengajak kepada kebaikan namun justru dia meninggalkannya; mencegah dari sesuatu, namun dia sendiri melakukannya. Orang seperti ini termasuk golongan orang-orang yang merugi. Adapun orang yang beriman, mereka menyeru kepada kebenaran, beramal dengannya, bersegera dan bersemangat dalam mengamalkannya dan menjauhi hal-hal yang dilarang. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتاً عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ

"Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan" [AshShaf:2-3]

Allah Subhanahu wa Ta'ala mencela orang Yahudi, tatkala mereka memerintahkan orang-orang untuk berbuat baik sedangkan mereka melupakan diri mereka sendiri :

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ

"Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?" [Al Baqarah:44]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan :

يُجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ فِي النَّارِ فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِرَحَاهُ فَيَجْتَمِعُ أَهْلُ النَّارِ عَلَيْهِ فَيَقُولُونَ أَيْ فُلَانُ مَا شَأْنُكَ أَلَيْسَ كُنْتَ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَانَا عَنْ الْمُنْكَرِ قَالَ كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَلَا آتِيهِ وَأَنْهَاكُمْ عَنْ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ

"Didatangkan seseorang pada hari Kiamat, kemudian dilemparkan ke dalam nereka hingga ususnya terburai berputar-putar seperti keledai berputar di sekeliling batu gilingan. Berkumpullah padanya penghuni neraka dan bertanya kepadanya: “Wahai, fulan! Apa yang terjadi denganmu? Bukankah engkau dahulu yang memerintahkan kami mengerjakan kebaikan dan mencegah kami dari kemungkaran?” Dia menjawab: “Aku memerintahkan kalian mengerjakan kebaikan, sedangkan aku tidak mengerjakannya. Aku larang kalian dari kemungkaran, (tetapi) aku sendiri melakukannya”.[HR Bukhari, Juz 4, hlm. 1191]

Hendaklah seorang da’i menyadari, bahwa kemalasannya dalam menjalankan ketaatan kepada Allah Subanahu wa Ta'alal berbeda dengan orang lain, karena dia sebagai contoh bagi orang lain. Tatkala orang melihatnya malas, maka orangpun akan berbuat semisalnya, atau bahkan lebih parah lagi. Sebagaimana pelanggaran hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala oleh da’i, tidaklah sama dengan pelanggaran yang dilakukan orang lain, karena ini akan diikuti, sehingga tersebarlah maksiat dimana-mana dengan dalih, da’i fulan melakukannya. Terkadang perkara yang sunnah bisa menjadi wajib bagi seorang da’i. Artinya, seorang da’i dituntut untuk senantiasa mengamalkan yang sunnah, supaya orang lain mencontohnya sehingga sunnah itu tersebar di masyarakat. Demikian juga perkara yang makruh bisa menjadi haram bagi seorang da’i. Artinya, seorang da’i dituntut untuk senantiasa meninggalkan perkara yang makruh, supaya orang lain tidak mencontohnya dan menganggap itu perkara yang mubah, sehingga perkara yang makruh tersebut tidak menjadi kebiasaan di masyarakat. Disinilah seorang da’i mempunyai amanah yang berat dan tanggung-jawab yang besar. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala menolong kita dalam menunaikan tanggung-jawab ini.

Keempat : Hikmah.
Secara ringkas, makna hikmah adalah tepat dalam ucapan dan sikap, dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya. Seorang da’i harus mempunyai kearifan dalam dakwahnya. Yaitu dengan menggunakan cara yang terbaik sesuai dengan keadaan dan tempatnya, karena manusia tidak memiliki cara yang sama dalam berfikir, tingkat pemahaman dan tabiatnya. Demikian juga penerimaan mereka terhadap kebenaran yang didakwahkan, ada yang langsung menerima tanpa harus berfikir panjang, ada pula yang perlu berdiskusi terlebih dahulu, terkadang harus diiringi dengan perdebatan yang cukup panjang. Maka seorang da’i dituntut untuk menggunakan metode yang sesuai dengan kondisi masing-masing orang, sehingga dakwahnya bisa lebih diterima masyarakat dan tepat sasaran. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

"Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik" [An Nahl:125]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberi contoh kepada kita cara berdakwah dengan hikmah, sebagaimana diceritakan oleh Anan bin Malik Radhiyallahu 'anhu :

بَيْنَمَا نَحْنُ فِي الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَقَامَ يَبُولُ فِي الْمَسْجِدِ فَقَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَهْ مَهْ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُزْرِمُوهُ دَعُوهُ فَتَرَكُوهُ حَتَّى بَالَ ثُمَّ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعَاهُ فَقَالَ لَهُ إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لَا تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ وَلَا الْقَذَرِ إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالصَّلَاةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ أَوْ كَمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَأَمَرَ رَجُلًا مِنْ الْقَوْمِ فَجَاءَ بِدَلْوٍ مِنْ مَاءٍ فَشَنَّهُ عَلَيْهِ

"Dari Anas bin Malik : “Tatkala kami bersama Nabi n di masjid, tiba-tiba datang seorang Arab badui berdiri dan kencing di masjid, maka berkatalah para sahabat,’Apa-apaan ini!’ Nabi n bersabda, ‘Jangan kalian putuskan air kencingnya. Biarkan dia.’ Maka sahabat membiarkannya hingga selesai kencingnya, kemudian Nabi memanggilnya dan berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya masjid ini tidak selayaknya untuk dikencingi ataupun dikotori. Masjid ini untuk mengingat Allah, shalat dan membaca Al Qur’an.’ Kemudian Nabi n memerintahkan salah seorang di antara mereka untuk mengambil seember air dan menyiramkannya" [HR Muslim, Juz 1, hlm. 231]

Sikap yang ditunjukkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ini merupakan sikap yang sangat agung, mengandung kelembutan yang diiringi dengan hikmah. Perhatikanlah, bagaimana Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersikap lemah-lembut dengan seorang yang jahil tanpa harus bersikap kasar atau mencelanya. Sebaliknya, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan apa yang layak dilakukannya. Akhlak seperti inilah yang seharusnya dimiliki seorang da’i dalam menjalankan dakwahnya.

Kelima : Sabar.
Ini merupakan tiang utama penopang keberhasilan dakwah. Seorang da’i pasti akan mendapatkan gangguan dalam dakwahnya, apabila dia menjelaskan tentang haramnya syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan menjelaskan berbagai macam kesyrikan yang terjadi di masyarakat. Orang-orang musrik akan bangkit menghadang dan menentang dakwahnya. Demikian juga jika menjelaskan tentang wajibnya berpegang dengan Sunnah dan meninggalkan bid’ah, maka ahli bid’ah akan merintanginya, baik dengan ucapan ataupun tindakan yang ditujukan pada dirinya ataupun pada dakwahnya. Lihatlah kesabaran pada diri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, demikian juga para rasul sebelum Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam . Mereka sabar menghadapi pahit getirnya berdakwah dan tantangan yang dihadapi, sebagaimana dilukiskan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firmanNya :

وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِّن قَبْلِكَ فَصَبَرُواْ عَلَى مَا كُذِّبُواْ وَأُوذُواْ حَتَّى أَتَاهُمْ نَصْرُنَا وَلاَ مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِ
اللّهِ

"Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami terhadap mereka. Tak ada seorangpun yang dapat merobah kalimat-kalimat (janji-janji) Allah" [Al An'am:34]

Sabar mempunyai kedudukan yang tinggi, tidak mungkin dicapai kecuali dengan mengambil sebabnya. Di antaranya, yaitu dengan mengingat betapa besar pahala yang Allah Subhanahu wa Ta'ala siapkan bagi hambaNya yang bersabar.

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ

"Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala tanpa batas". [Az Zumar:10]

Bagaimana pula pelajaran yang bisa diambil dari sejarah para ulama Salaf dalam menegakkan kebenaran. Mereka sabar dalam menghadapi berbagai rintangan hingga datangnya pertolongan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebagaimana fitnah yang terjadi pada diri Imam Ahmad dan Imam Ibnu Taimiyyah pada zaman mereka berdua. Maka bersabarlah wahai para da’i dalam menegakkan kebenaran, mendakwahkannya dan membelanya, gantungkanlah harapan, panjangkanlah nafas, bekerja keraslah siang dan malam, dan lihatlah jauh ke depan, keberhasilan dakwah menunggu di hadapan kalian dengan ijin Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan hanya kepadaNya, kita memohon pertolongan dan menyandarkan harapan. Walllahu a’lam.

Maraji’:
- Risalah ila Ad Du’at, karya Fadhilatusy Syaikh Muhammad Shalih Al Utsaimin, Cet. ke-1, Th. 1419 H, Dar Al Qasim, Riyadh, KSA.
- Wujub Ad Da’wah Ilallahi wa Akhlaqul Du’at, karya Fadhilatusy Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Cet. ke-1, Th. 1413 H, Dar Al Wathan, Riyadh, KSA.
- Manhaj Al Anbiya` Fi Ad Da’wah Ilallahi Fihi Al Hikmah wal Aql, karya Fadhilatusy Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali, Cet. Ke-2, Th. 1414 H, Dar Al Ghuraba’, Madinah Al Munawwarah, KSA.
- Al Hikmah Fi Ad Dakwah Ilallahi, karya Said bin Ali bin Wahf Al Qahthani, Cet. ke-2, Th. 1413 H.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XI/1426H/2005. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

Selasa, 23 Februari 2010

Wahai Juru Dakwah, Bersatulah!

Pada suatu kesempatan, Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah[1] ditanya,

“Di tengah kaum muslimin saat ini banyak terdapat jama’ah yang masing-masing berdakwah kepada manusia dengan caranya masing-masing. Dengan adanya banyak jama’ah tersebut mereka membuka pintu perselisihan yang lebar. Bagaimana menurut Anda?”

Beliau hafizhohullah menjawab:

Ya benar, apa yang Anda katakan sangat disesalkan benar adanya. Juru dakwah di masa ini terkotak-kotak menjadi beberapa jama’ah dan beberapa kelompok. Setiap jama’ah memiliki nama khusus dan metode khusus. Mereka saling menyalahkan satu dengan yang lain. Hal ini dapat membahayakan kaum muslimin dan membuat musuh Islam bergembira.

Bahkan semestinya pada da’i bermusyawarah dan menyatukan visi dan misi mereka, meskipun mereka berada di negeri-negeri yang saling berjauhan, kemudian saling ruju’ satu dengan yang lain. Dan sebaiknya mereka mengadakan pertemuan minimal setahun sekali untuk mengkaji masalah ini, yaitu mengenai seluk-beluk dunia dakwah yang mereka jalani. Dengan demikian mereka akan bersatu menjadi sebuah jama’ah saja, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُواْ

“Bersatulah dengan tali Allah dan janganlah berpecah-belah” (QS. Al Imran: 103)

Adanya firqah (kekelompokan) hanya akan menimbulkan keburukan. Berpecahnya para da’i menjadi beberapa jama’ah tidak akan membawa kebaikan bahkan hanya akan membukan pintu keburukan.

Setiap jama’ah menyalahkan jama’ah yang lain dan mencari-cari kesalahan jama’ah yang lain, sampai-sampai dakwah Islam terabaikan. Dan ini merupakan salah satu sumber kelemahan. Semestinya para da’i itu bersatu dan saling belajar dari yang lain. Seseorang tidak boleh fanatik sehingga bersikeras dalam terus berada dalam kesalahan. Wajib bagi siapa pun untuk ruju’ kepada kebenaran jika telah dijelaskan kepadanya.

Adapun perkataan semacam, “Aku berlepas diri dari jama’ah itu karena mereka berpemahaman A sedangkan aku berpemahaman B”, ini adalah sebuah kesalahan! Allah Ta’ala berfirman,
أَطِيعُواْ اللَّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

“Taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul-Nya, serta kepada ulil amri kalian. Jika kalian berselisih, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kalian memang beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya” (QS. An Nisa: 59)

Kembali kepada Allah adalah mengembalikan perselisihan kepada Al Qur’an. Kembali kepada Rasul-Nya adalah mengembalikan perselisihan kepada keputusan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau masih hidup, atau kepada hadits-haditsnya setelah beliau wafat.

Sikap demikian akan memangkas persengketaan dan akan sejalanlah visi dan misi para da’i. Sehingga bersatulah mereka di atas kebaikan.

وصلى الله وسلم على نبينا محمد وآله وصحبه

Sumber: Muntaqa Fatawa Shalih Al Fauzan Jilid 2, fatwa no.198

Penerjemah: Yulian Purnama

Artikel www.muslim.or.id

Sabtu, 20 Februari 2010

Hadirilah Kajian Ilmiah Islam

Hadirilah Kajian ilmiah islam

Mohon Untuk Hadir Tepat Waktu

Rabu, 17 Februari 2010

Pemberitahuan

Assalamu'alaikum
Mohon beri masukkan dan krtik serta saran di ruang "chat yuk..."untuk kemajuan dakwah kami melalui blog ini.syukron atas kunjungannya...jng lupa kunjungi lagi ya...dilain waktu...


Admin

Benarkah As-Salafiyyun Senang Berpecah Belah ?

Oleh
Syaikh Salim bin Ied Al-Hilali



Pertanyaan
Syaikh Salim bin Ied Al-Hilali ditanya : Ada yang mengatakan bahwa sesungguhnya As-Salafiyyun adalah orang-orang yang sering dan senang berpecah belah, seperti yang terjadi di Yaman atau Arab Saudi, atau negara lainnya. Apa pendapat Syaikh tentang hal ini?

Jawaban
Di antara nama-nama Ad-Da’wah As-Salafiyyah, ialah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sehingga As-Sunah menyeru kepada persatuan. Sedangkan bid’ah menyeru kepada perpecahan. Jadi, As-Salafiyyun mengundang dan mengajak (yang lainnya) kepada persatuan, kesatuan dan kebersamaan.

Lalu, jika sampai terjadi perselisihan, perpecahan atau pengelompokan-pengelompokan di sebagian negara-negara, maka sesungguhnya hal ini terjadi karena beberapa sebab ; diantaranya lemahnya pemahaman dan adanya cacat dalam memahami manhaj. Karena lemah dan cacat dalam memahami manhaj ini, dapat menyebabkan terjadinya perpecahan. Seandainya mereka memahami manhaj ini dengan pemahaman yang baik dan benar sebagaimana yang digariskan Islam, diterangkan Rasulullah, dan dijelaskan oleh para ulama, tentu mereka tidak akan berpecah-belah. Karena hubungan para ulama salaf dengan sesama lainnya, adalah hubungan yang saling memperkuat dan menyempurnakan ; karena negara-negara ini semakin meluas dan banyak. Sedankan orang yang berijtihad dari kalangan ulama, mereka saling tolong-menolong antar sesama mereka, dalam kaidah mempertahankan persatuan dan tidak saling berselisih. Seandainya pun para hizbiyyin mampu menyusup ke tengah barisan As-Salafiyyun dan mampu memecah-belah sebagian As-Salafiyyun, maka kita tidak perlu merasa heran!

Sungguh dahulu kala, seorang Yahudi yang bernama Abdullah bin Saba’ –semoga Allah memeranginya- telah mampu memecah belah para sahabat, hingga akhirnya mereka saling berperang dan saling menumpahkan darah dengan sebab usahanya berupa perusakan, mengadu domba, pemecah-belahan, penyebaran syubuhat dan keragu-raguan di tengah-tengah para sahabat.

Berarti, adanya perpecahan atau perselisihan sesama As-Salafiyyun yang kini terjadi di sebagian negara-negara, hal ini bukan disebabkan Ad-Da’wah As-Salafiyyah!

Ad-Dakwah As-Salafiyyah yang benar mengajak manusia kepada persatuan, kesatuan, persahabatan, saling tolong menolong dan saling membela antara yang satu dengan yang lainnya. Seperti sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut.

“Artinya : …Orang-orang beriman sama darah mereka (dalam qishah atau diyat), mereka kuat dan saling bersatu (tolong-menolong) dalam menghadapi musuh-musuh mereka, dan orang yang terendah dari mereka dapat memberikan perlindungan (keamanan)…..[1]

Oleh karena itu, jika terjadi kekeliruan dari sebagian As-Salafiyyun di sebagian negara, hal ini tidak berarti –sama sekali- bahwa kesalahan ada pada Ad-Da’wah As-Salafiyyah. Bahkan Ad-Da’wah As-Salafiyyah berlepas diri dari kesalahan para As-Salafiyyun!.

As-Salafiyyun adalah manusia. Mereka bisa benar dan bisa keliru! Maka, kita tidak boleh membawa kesalahan dan kekeliruan sebagian As-Salafiyyun kepada Ad-Da’wah As-Salafiyyah.

Sebagian ulama yang pernah berkunjung ke Eropa ada yang ditanya : “Kalian berkata bahwa Islam adalah agama yang adil, baik dan indah. Tetapi mengapa kami tidak melihat hal tersebut dalam kehidupan orang-orang Muslim?

Lalu ia menjawab dengan sebuah jawaban yang bagus :”Jika seorang hakim salah dalam menghukumi dan mengambil sebuah keputusan, maka apa (itu berarti) sesungguhnya kesalahan undang-undang ?”

Jadi, kesalahan dan kekeliruan adalah dari si hakim yang menggunakan dan mempraktekkan undang-undang, dan bukan kesalahan undang-undang tersebut!

Lagipula, kesalahan yang kini terjadi adalah dilakukan oleh sebagian As-Salafiyyun saja, dan bukan kesalahan mereka seluruhnya ! Ini satu sisi ! Sisi lainnya, apakah perpecahan ini hanya terjadi pada As-Salafiyyun saja? Ataukah hal ini merupakan sebuah penyakit yang telah melanda seluruh golongan-golongan, partai-partai, dan gerakan-gerakan?

Bahkan tidaklah terbentuk sebuah partai, melainkan lama-kelamaan dalam waktu yang dekat saja –setahun atau dua tahun- akhirnya melahirkan partai-partai baru lainnya!

Sebagian melaknat sebagian yang lain, saling mengkafirkan, saling berseteru, dan seterusnya.

Sekali lagi, fenomena sosial semacam ini, sebabnya adalah cacat dan kurangnya mereka dalam memahami dan mendalami manhaj dan Islam ini.

MENYIKAPI PERSELISIHAN DI KALANGAN SAHABAT NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Oleh
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi

Pertanyaan
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi ditanya : Bagaimana sikap kita terhadap pertikaian yang terjadi di kalangan para sahabat Radhiyallahu ‘anhum ?

Jawaban
Sebagian ulama telah ditanya dengan pertanyaan ini, ia menjawab, “Ini sebuah fitnah yang telah Allah sucikan pedang-pedang kita darinya. Maka, hendaknya kita pun mengharap agar Allah mensucikan lisan-lisan kita darinya” [2]

Jawaban ini, jawaban yang bijaksana, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.

“Artinya : Apabila (perselisihan) sahabatku disebutkan, maka tahanlah (lisan-lisan kalian)….”[3]

Al-Munawi berkata : “Yakni, tahanlah pembicaraan dari apa-apa yang mereka perselisihkan” [4]

Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Apabila seorang hakim berhukum dan bersungguh-sungguh, kemudian ia benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Dan jika ia berhukum dan bersungguh-sungguh, kemudian ia salah, maka ia mendapatkan satu pahala” [5]

Kita dengan sangat yakin berpandangan, bahwa apa-apa yang terjadi pada para sahabat berupa perselisihan atau pertikaian, seluruhnya karena ijtihad mereka (dalam memutuskan sebuah hukum). Mereka tidak terlepas dari pahala, baik yang benar dari mereka ataupun yang keliru. Yang benar dari mereka mendapatkan pahala, dan yang salah tidak berdosa.

[Soal – Jawab di Jakarta Islamic Center (JIC), Ahad, 23 Muharram 1428H/11 Februari 2007M]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XI/1428H/2007M.Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanggrejo Solo 57183, Telp. 0271-5891016]
__________
Foote Note
[1]. HR Abu Dawud (4/180 no. 4530), An-Nasai (8/19, 20, 24 no. 4735, 4745) dan lain-lain, dari hadits Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu. Hadits semakna juga diriwayatkan dari Abdullah bin Amr dan Ma’qil bin Yasar Radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abi Dawud (3/97), Shahih Sunan An-Nasai (3/281), Shahih Al-Jami (6666) dan Irwa’ul Ghalil (7/266 no. 2209)
[2]. Dinukil dari perkataan Umar bin Abdul Aziz rahimahullah. LihatMirqatul Mafatih (10/32)
[3]. HR Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir (2/96, 10/198) dan lain-lain, dari hadits Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu dan Tsauban Radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Al-Jami (545), dan As-Silsilah Ash-Shahihah 91/75 no. 34).
[4]. Lihat Faidhul Qadir (1/347)
[5]. HR Al-Bukhari (6/2676 no. 6919), Muslim (3/1342 no. 1716) dan lain-lain, dari hadits Amr bin Al-Ash Radhiyallahu ‘anhu

Minggu, 14 Februari 2010

Menyikapi Bom Bunuh Diri

Oleh
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halaby
Segala puji bagi Allah , kita menyanjung-Nya. Dan kita berlindung kepada Allah dari kejelekan diri serta amal perbuatan kita. Barangsiapa yang diberi hidayah oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka tidak ada yang bisa menyesatkannya dan barangsiapa yang disesatkan-Nya maka tidak ada yang bisa memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah saja yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Amma ba’du.

Wahai orang-orang yang beriman, Allah Ta’ala berfirman.

“Karena kebiasaaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari kesulitan” [Qurais : 1-4]

Ini adalah surat yang sempurna dalam Al-Qur’an dan termasuk surat yang pendek serta termasuk yang paling terakhir dalam mushaf. Meskipun surat ini amat singkat, tapi dia mencakup prinsip-prinsip kehidupan yang Islami, meliputi kaidah-kaidah serta ketentuan-ketentuan syari’at dan tujuannya yaitu persatuan kaum muslimin, kesatuan barisan mereka, beribadah hanya kepada (Allah) Rabb mereka serta tercapainya keamanan mereka.

Demikian firman Allah yang merupakan mukjizat, terkadang dia berupa keyakinan yang ditekankan, kemungkaran yang dibantah, atau kisah yang dipaparkan maupun hukum yang dijelaskan.

Adapun firman Allah : (li’iila fi qurais) maka maknanya sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnu Katsir rahimahullah : “Persatuan dan kebersamaan mereka dalam negeri mereka yang tenteram dan aman”.

Persatuan dan kesatuan inilah yang merupakan semulia-mulia tujuan syari’at Allah sebagaimana yang tecantum dalam firman Allah.

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai” [Ali-Imran : 103]

Dan sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Tangan Allah bersama jama’ah”

Dan sabda beliau pula.

“Jama’ah/persatuan itu rahmat dan perpecahan itu adzab”.

Wahai orang-orang yang beriman sesungguhnya prinsip yang pokok ini (persatuan dan kesatuan) lenyap ditelan semangat buta dari segelintir manusia yang (hakekatnya) memusuhi diri mereka sendiri, lupa akan jati diri mereka dan memakai pakaian Islam sedang mereka jauh dari Islam. Mereka berbicara atas nama syariat sedangkan mereka bodoh akan syariat. Mereka merusakan (Islam) sedangkan mereka mengira telah memperbaikinya. Allah Ta’ala berfirman.

“Katakanlah : Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya” [Al-Kahfi : 103-104]

Berdalil dengan ayat ini sangatlah sesuai dengan kaidah ilmiah yang berbunyi “Mengambil ibrah dari keumuman lafadh bukan dari kekhususan sebab turunnya (ayat)”.

Adapun firman Allah dalam surat Quraisy ayat 1-2, maka terkandung didalamnya makna kesinambungan dan tetapnya (persatuan serta keamanan) di negeri yang beriman. Persatuan dan kesatuan merupakan dua hal yang luar biasa terjadi pada sekelompok manusia yang dahulunya dalam keadaan terhina, bercerai-berai dan minoritas tapi kemudian mereka berubah menjadi mulia, bersatu dan mayoritas. Tidaklah hal tersebut terjadi melainkan dengan sebab kesungguhan mereka dalam memegang kebenaran agama ini.

Surat ini (Quraisy) dimulai dengan “laam ta’ajjub” (hurup lam yang berfungsi menunjukkan sesuatu yang menakjubkan) “li’iilaa fii quraiisy” untuk menunjukkan kepada para pendengar dan menjelaskan kepada para pembaca akan suatu hal yang terkadang sulit dipahami dan susah dimengerti. Seolah-olah Allah Ta’ala mengatakan : “Terheran-heranlah kalian akan perkara orang-orang Quraisy dan akan nikmat-Ku kepada mereka. Bagaimana keadaan mereka dahulu dan bagaimana keadaan mereka sekarang!!”.

Prinsip yang kedua ini (keamanan) juga sirna oleh orang-orang bodoh yang berlagak pintar, para pengacau dan orang-orang yang ekstrim seperti keadaan yang pertama yang dilupakan dan dibumi hanguskan.

Tidaklah yang mendorong mereka kepada perbuatan (keji dan bengis) itu melainkan karena sebab kebodohan terhadap syari’at dan menyimpangnya mereka dari jalannya para ulama. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Diantara tanda-tanda hari kiamat adalah dituntutnya ilmu dari orang-orang ingusan”.

Mereka ingusan dalam umur dan pengetahuan, sebagaimana yang disabdakan Nabi dalam hadits yang lain : “Anak-anak ingusan yang kurang akalnya (bodoh)”.

Dan sungguh benar Nabi kiita Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau bersabda : “Sebelum datangnya hari kiamat akan tampak tahun-tahun yang menipu, orang-orang yang berdusta dibenarkan sedang orang yang jujur didustakan. Dan akan muncul Ar-Ruwaibidhoh”. Para sahabat bertanya : “Siapa Ar-Ruwaibidhoh itu ya Rasulullah?” Beliau menjawab : “Orang yang bodoh yang berani bicara tentang umat”.

Demi Allah, sesungguhnya mereka [2] adalah orang-orang bodoh yang ekstrim yang telah menyibukkan orang banyak. Mereka berani berbicara tentang perkara besar sedangkan mereka bodoh akan ilmu agama meskipun mudah.

Sesungguhnya berkata tentang (agama) Allah tanpa ilmu termasuk sebesar-besarnya dosa. Sebagaimana yang difirmankan oleh-Nya.

“Katakanlah : Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui” [Al-A’raf : 33]

Dan juga firman-Nya.

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung” [An-Nahl : 116]

Di dalam ayat yang pertama tadi Allah mensejajarkan antara berkata terhadap (agama) Allah tanpa ilmu dengan kesyirikan. Dan di dalam ayat kedua Allah menjadikan penghalalan dan pengharaman tanpa ilmu termasuk berdusta atas nama Allah.

Maka jauhilah kedua hal jelek diatas yang telah terjerumus kedalamnya orang-orang bodoh yang berlagak pintar tanpa ada rasa takut kepada Allah maupun rasa malu kepada para hamba-hamba-Nya. Mereka dengan kebodohannya sangat berani berbicara tentang (pertumpahan) darah kemudian mereka wujudkan ucapan mereka yang rusak itu kedalam realita (perbuatan) yang lebih rusak lagi dengan menumpahkan darah (kaum muslimin), menimbulkan bencana, fitnah dan musibah. Semua itu mereka lakukan dengan nama jihad, dakwah dan dengan symbol amar ma’ruf nahi munkar.

Bahkan perbuatan mereka yang merusak itu merupakan sebab utama bagi musuh-musuh Islam untuk menguasai umat dan merampas harta kekayaan serta menekan mereka. Terlebih lagi merekalah yang menyebabkan Islam dianggap teroris dan orang-orang yang shalih dituduh ekstrim. Tapi mereka tidak sadar dan tidak mau memperhitungkan kesesatan dan kerusakan yang mereka timbulkan. Demi Allah, inilah musibah terbesar dan bencana yang agung. Oleh karena inilah, kita berbicara, bersemangat dalam menjelaskan dan berdialog. Dan kita senantiasa akan berusaha untuk mejelaskan Islam yang murni dan hukum-hukum Islam yang bersih.

Adapun hukum perbuatan mereka (pelaku bom bunuh diri) dari kedhaliman yang besar maka amatlah jelas melebihi jelasnya matahari di siang bolong dan tidak tersembunyi bagi siapa saja.

Wahai orang-orang yang beriman, tidaklah kejadian yang mengerikan dan tragedi yang mengenaskan yang terjadi di negeri kita yang diberkahi ini beberapa saat yang lalu, yang menjadikan hati-hati yang suci meleleh dan mata yang kasih sayang mencucurkan air mata melainkan sebagai bukti akan hakekat dan jati diri orang-orang bodoh, ekstrim serta sesat dan merusak itu. Jika mereka melakukan semua itu dengan nama agama maka demi Allah, Islam berlepas diri dari mereka.

Kita sering mendengar dari ulama Rabaniyyin peringatan demi peringatan akan bahaya besar ini. Demikian itu sejak seperempat abad yang lalu atau lebih, karena memang para ulama senantiasa mengetahui kebenaran dan mengasihi makhluk. Berinjak dari (petunjuk) ulama-ulama kita itulah -rahimahullah- ditulis buku “Shoihatu Nadhir wa Shorkhotu Tadzkir” agar para ekstrimis mau kembali kepada kebenaran dan meninggalkan kebatilan.

Karena mereka orang-orang bodoh itu hanya mengira-ngira dan penuh dengan keraguan, mereka mengucapkan (tuduhan-tuduhan) dengan lisan mereka dari noda hati-hati mereka. Mereka menuduh mayoritas umat dalam kesesatan yang nyata dan para penguasa (pemerintah) dengan kekafiran serta menuduh para ulama dengan tuduhan-tuduhan yang keji. Demi Allah, ucapan-ucapan (tuduhan-tuduhan) ini seandainya dibalikan kepada mereka (orang-orang bodoh) itu amatlah sesuai.

Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya ucapan-ucapan pembesar ulama kita -rahimahullah- didasarkan kepada Al-Qur’an dan Sunnah serta jalannya para sahabat dan tabi’in -radhiyallahu anhum-. Ucapan-ucapan mereka merupakan garis bagi setiap orang bahkan dia merupakan pondasi sejak dahulu dalam memperingatkan umat akan bahaya pengkafiran serta akibatnya seperti pembunuhan, pengrusakan, pertumpahan darah dan peledakan. Ucapan-ucapan mereka tersebut sering didengungkan pada setiap waktu dan tempat.

Sebagian ulama kita yang telah disepakati akan keilmuan dan kedudukannya sekitar 10 tahun yang lalu telah berkata [3] : “Tergesa-gesa dalam pengkafiran amatlah berbahaya terlebih lagi banyak dampak negatif yang ditimbulkannya dari pertumpahan darah, pencabik-cabikan kehormatan, perampasan harta, peledakan sarana transportasi dan gedung-gedung serta perusakan fasilitas umum.

Perbuatan-perbuatan seperti ini diharamkan dalam syari’at menurut ijma’ kaum muslimin, karena didalamnya terdapat perusakan terhadap kehormatan jiwa yang tidak bersalah, perampasan harta maupun pengacauan terhadap keamanan dan ketentraman manusia serta penghancuran terhadap fasilitas umum yang amat dibutuhkan manusia. Padahal Islam berlepas diri dari keyakinan yang rusak ini.

Dan apa yang terjadi disebagian Negara dan penumpahan darah orang-orang yang tidak bersalah, peledakan gedung-gedung dan sarana transportasi serta fasilitas umum maupun pribadi termasuk perbuatan keji yang Islam berlepas diri dari hal itu.

Demikian pula setiap muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir berlepas diri darinya. Semua itu hanyalah perbuatan orang-orang yang menyimpang dan yang memiliki aqidah sesat. Dialah yang menanggung dosa dan kejahatannya. Janganlah dia mengkaitkan perbuatannya kepada Islam atau kaum muslimin yang medapat petunjuk yang berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Yang mereka lakukan hanyalah murni pengrusakan dan kejahatan yang tidak direstui oleh syari’at maupun fitrah. Oleh karena itu, syari’at Islam mengharamkan perbuatan tersebut dan memperingatkan para pelakunya”.

Sebagai penutup (khutbah yang pertama) saya katakan : Sungguh sesuai apa yang dikatakan oleh para ulama sejak bertahun-tahun yang lalu dengan apa (yang dilakukan) oleh para tukang pengkafiran yang menyimpang, bodoh lagi tersesat : “Tidaklah mereka menolong Islam ataupun menghancurkan kekafiran. Tidakkah mereka merenungi, berfikir dan berhenti dari kesesatan mereka”.

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, yang telah berfirman : “Tidaklah kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam”. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam pemberi petunjuk dan amanah yang telah bersabda : “Sesungguhnya aku adalah rahmat yang diberi petunjuk”. Amma ba’du.

Sesungguhnya penutup surat Quraisy ini datang sebagai penyempurna awalnya : Didalamnya terdapat banyak anjuran untuk selalu menjaga nikmat serta menjaga kesinambungannya.

Allah Ta’ala mengarahkan hamba-hamba-Nya untuk mensyukuri nikmat dan anugerah-Nya yang banyak lewat firman-Nya :

“Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan pemilik rumah ini (Ka’bah)”.

Karena Allah Ta’ala telah menyebutkan keutamaan-Nya kepada para hamba dan Dialah pencipta mereka. :

”Dan tidaklah nikmat itu diberikan kepada kalian melainkan dari Allah”,

Dan Allah berfirman :

“Dan jika kalian ingin menghitung nikmat Allah sesungguhnya kalian tidak akan bisa menghitungnya”.

Bagaimana cara untuk menjaga nikmat-nikmat itu? Jalan manakah yang bisa ditempuh ?

Allah Ta’ala berfirman.

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan : ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” [Ibrahim : 7]

Beribadah kepada Allah dengan benar, mentauhidkan-Nya, belajar ilmu agama, menghidupkan sunnah serta mengamalkan hukum-hukum Islam termasuk sebesar-besarnya cara untuk menjaga nikmat-nikmat tersebut dan sebab bertambahnya nikmat. Kemudian dalam akhir surat tersebut Allah menjelaskan tentang diri-Nya yang Maha Tinggi dan Suci agar mereka sadar dan mengakui keutamaan-keutamaan-Nya.

“Telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan”

Allah Ta’ala mengaitkan beribadah kepada-Nya dengan ketentraman dan keamanan seperti dalam firman-Nya.

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk” [Al-An’am : 82]

Keamanan merupakan nikmat dan anugerah Allah kepada hamba-hamba-Nya yang benar-benar beriman kepada-Nya.

Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya keamanan amat berkaitan erat dengan keimanan dan keduanya merupakan nikmat terbesar dari nikmat-nikmat Allah Yang Maha Penyayang. Berusaha mencapai keduanya merupakan tujuan utama syari’ah yang mulia ini dan suatu prinsip agama.

Adapun alasan bodoh yang selalu dilontarkan oleh para pembela (pelaku bom bunuh diri dan pengkafiran) untuk melegalkan kesesatan mereka dan meridhai kejahatan mereka dengan mengatakan bahwa mereka (para pelaku bom bunuh diri atau yang semisalnya) secara asal hanya menginginkan membantai orang-orang kafir, tapi, kaum muslimin yang ikut terbunuh hanyalah korban resiko perjuangan (Tatarrus). Sungguh -Demi Allah- ini termasuk sebesar-besarnya kebodohan, kedhaliman dan kekejian.

Orang-orang kafir apabila masuk ke negeri kaum muslimin dengan perjanjian damai dan ijin (dari pemerintah, -pent) maka mereka memiliki hak-hak untuk dilindungi seperti kaum muslimin tanpa ada perbedaan. Bahkan Nabi Muhammad telah memperingatkan (kita) dari menyelisihi hukum syari’at ini dengan bahasa arab yang jelas :

“Barangsiapa yang membunuh Mu’aahid maka dia tidak akan mencium bau surga” [HR Bukhari]

Mu’aahid adalah orang kafir yang diberi jaminan dan keamanan (oleh pemerintah) di negeri kaum muslimin.

Adapun alasan tatarrus yang mereka dengungkan maka amatlah berbeda gambaran (praktek)nya dengan apa yang dijelaskan oleh para ulama. At-Tatarrus yang mereka dengungkan hanyalah mengakibatkan terbunuhnya orang tua, para wanita dan anak kecil yang tidak berdosa.

Tatarrus yang (diperbolehkan) dalam syari’at dilakukan oleh prajurit yang dalam keadaan amat darurat (terpaksa), bukan memilih-milih sasaran dan mencari targetnya. :

“Ketahuilah, mereka telah terjerumus kedalam fitnah”

Maka bertakwalah kepada Allah manusia-manusia yang bodoh itu, mereka tidak tahu kebenaran dan tidak mau menjauhi kebatilan. Bahkan mereka mendukung dan menolong kebatilan, serta para da’i-da’inya.

Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya diantara perkara yang mudah aku mengatakan diatas mimbar ini : “Bahwasanya apa yang terjadi kemarin di Amman dari peledakan, pengrusakan, pembunuhan, pengacauan terhadap stabilitas keamanan, pencabik-cabikan terhadap kehormatan agama dan keimanan adalah suatu kemungkaran berat yang tidak pernah direstui syari’at ataupun didukung akal (sehat). Hal tersebut juga tidak menghasilkan maslahat dan tidak bisa diterima oleh hati maupun disetujui oleh orang yang masih mau berfikir. Terlebih lagi, kekejian itu dilakukan dengan curang, makar dan tidak jantan, dibalik dinding yang tidak disepakati oleh tabiat yang lurus terlebih akhlak Islamiyyah !!.

Pada hakekatnya apa yang mereka lakukan itu lebih dahsyat dari pada semua itu. Perbuatan keji tersebut adalah bentuk kecurangan yang besar yang merubah kegembiraan menjadi kesengsaraan, salam suka cita menjadi duka cita, senyuman menjadi tangisan, obat menjadi penyakit, penawar menjadi musibah, bunga mawar menjadi darah dan tubuh menjadi berserakan.

Aku tidak bisa mengerti, apakah tempat (hotel) yang menjadi sasaran kelompok sesat dan menyimpang ini adalah medan jihad dan markas para musuh? Ataukah tempat bersuka cita, menyambung tali kekeluargaan dan silaturahmi serta bertukar kegembiraan ? Demi Allah, sesungguhnya pelaku kekejian ini dan yang ada di belakang mereka -siapapun orangnya- dan dengan tujuan apa saja dia adalah penjahat licik, yang hina lagi pembuat fitnah, yang tidak mau memelihara (hubungan) kekerabatan terhadap orang-orang mukmin dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian serta tidak mau memperdulikan hak-hak masyarakat dan umat Islam.

Sesunguhnya kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk memberi Raja dan Pemimpin kita petunjuk serta dihiaskan kepada mereka petunjuk dan ketakwaan kepada-Nya agar mereka senantiasa menjelaskan kepada dunia akan hakekat Islam sebenarnya dan sikap lurus Islam serta berlepasnya Islam dari perbuatan para ekstrimis/teroris yang keji itu.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Barangsiapa yang tidak bersyukur kepada manusia maka berarti dia tidak bersyukur kepada Allah”.

Maka, kita tujukan rasa syukur ini kepada Raja kita, -semoga Allah membalas segala kebaikannya dan menambah kepadanya keutamaan serta kebaikan-Nya- yang telah bekerja keras dalam menjaga (Islam dan negeri ini, -pent).

Dan tidaklah pengarahan Raja kita (yang berjudul risalah Amman) dalam menjelaskan ajaran Islam yang lurus, yang dijelaskan oleh beliau lebih dari setahun yang lalu melainkan bukti yang nyata akan bangganya beliau dengan ajaran ini serta kemurnian dan keindahannya serta semangatnya sehingga mengharuskan kita mentaatinya didalam hal yang benar dan dalam kebaikan.

Dan aku ingatkan mereka (para pelaku bom bunuh diri dan jaringannya) dengan (adzab) Allah Rabb semesta alam jika memang mereka orang-orang yang beriman dan bertauhid kepada Allah serta hukum-hukum-Nya jika mereka memang patuh dan tunduk kepada-Nya. Aku jelaskan kepada mereka apa yang mereka tidak mengerti.
Yang demikian itu agar mereka takut kepada Allah, berhenti dari perbuatan mungkar mereka dan semoga Allah menyelamatkan kaum muslimin dan negeri mereka dari kejahatan (para teroris). Dan hendaknya mereka kembali kepada kebenaran serta merahmati manusia dari pada mereka menyebarkan keonaran ditengah kaum muslimin maupun di dunia ini dengan nama Islam sedangkan Islam berlepas diri darinya. Inilah hukum Allah dan syariat-Nya bukan hawa nafsu ataupun ketenaran dan bukan pula kebodohan serta semangat yang merusak.

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kami hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” [An-Nisa : 65]

Aku memohon kepada Allah yang Maha Agung untuk memberi hidayah kepada mereka yang tersesat atau memberi sanksi/adzab kepada mereka serta menyelamatkan umat dari kejahatan dan kejelekan mereka agar menjadi pelajaran bagi yang menginginkan kebaikan serta menjadi sebab kembalinya orang-orang yang tertipu dengan mereka (kepada kebenaran). Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan (do’a). Dan kita mohon juga kepada Allah Ta’ala untuk menjauhkan negeri kita dan negeri kaum muslimin dari fitnah, bencana yang tampak maupun yang tersembunyi. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Kuasa atas segala hal itu. Inilah negeriku dan Dialah yang menjaganya dengan keamanan dan keimanan. Para penyesat dan ekstrim itu berada di halamannya akan tetapi mereka tidak akan bisa abadi. Semoga shalawat dan salam serta keberkahan tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan semua sahabatnya.

[Disalin dari majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 17 Th. IV/Dzulqa’dah 1426H, Desmber 2005M, Penerbit Ma’had Ali Al-Irsyad Surabaya, Alamat Perpustakaan Bahasa Arab Ma’had Ali-Al-Irsyad, Jl Sultan Iskandar Muda Surabaya]
_________
Footnote
[1]. Ini adalah khutbah Jum’at Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halaby Al-Atsary –hafidhohullah- di Masjid Al-Hasyimiyyah Yordania pada tanggal 11-11-2005 yang dihadiri oleh Raja Yordania dan merupakan undangan resmi Negara.
[2]. Para pelaku bom bunuh diri dan yang semisal dengan mereka (pent)
[3]. Yaitu ulama (Lajnah Daimah) di Saudi Arabia dibawah kepemimpinan Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah pada 2/4/1419H

Hukum Mengenakan Pakaian Yang Bergambar Dan Menyimpan Foto Sebagai Kenangan

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin



Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum mengenakan pakaian yang bergambar ?

Jawaban
Seseorang dilarang untuk mengenakan pakaian yang bergambar hewan atau manusia, dan juga dilarang untuk mengenakan sorban serta jubah atau yang menyerupai itu yang didalamnya terdapat gambar hewan atau manusia atau makhluk bernyawa lainnya. Karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah menegaskan hal itu dengan sabdanya.

"Artinya : Malaikat enggan memasuki rumah yang didalamnya terdapat lukisan".[Hadits Riwayat Al-Bukhari, bab Bad’ul Khalq 3226, Muslim bab Al-Libas 2106]

Maka dari itu hendaklah seseorang tidak menyimpan atau memiliki gambar berupa foto-foto yang oleh sebaigian orang dianggap sebagai album kenangan, maka wajib baginya untuk menanggalkan foto-foto tersebut, baik yang ditempel di dinding, ataupun yang disimpan dalam labum dan lain sebagainya. Karena keberadaan benda-benda tersebut menyebabkan malaikat haram (enggan) memasuki rumah mereka. Hadits yang menunjukkan hal itu adalah hadits shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Wallahu a'lam

[Ibn Utsaimin, Al-Majmu Ats-Tsamin, hal 199]

MENYIMPAN FOTO SEBAGAI KENANGAN

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum menyimpan gambar atau foto sebagai kenangan ?

Jawaban.
Menyimpan gambar atau foto untuk dijadikan sebagai kenangan adalah haram, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa malaikat enggan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat gambar. Hal ini menunjukkan bahwa menyimpan gambar atau foto di dalam rumah hukumnya adalah haram. Semoga Allah memberi kita pertolongan.

[Ibn Utsaimin, Al-Majmu Ats-Tsamin, hal 200]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerbit Darul Haq]

HUKUM MEMPERINGATI Maulid Nabi Muhammad sholallahu ‘alaihi wa sallam

Penulis: Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz rahimahullah
Sungguh banyak sekali pertanyaan yang di ajukan oleh kebanyakan kaum muslimim tentang hukum Memperingati Maulid Nabi Muhammad sholallahu ‘alahi wa sallam dan hukum mengadakannya setiap kelahiran beliau.

Adapun jawabannya adalah : TIDAK BOLEH merayakan peringatan maulid nabi karena hal itu termasuk bid’ah yang di ada-adakan dalam agama ini, karena Rasulullah tidak pernah merayakannya, tidak pula para khulafaur rosyidin dan para sahabat, serta tidak pula para para tabi’in pada masa yang utama, sedangkan mereka adalah manusia yang paling mengerti dengan As-sunnah, paling cinta kepada Rasulullah, dan paling ittiba’ kepada syari’at beliau dari pada orang – orang sesudah mereka.

Dan sungguh telah tsabit (tetap) dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda : “Barang siapa mengadakan perkara baru dalam (agama) kami ini yang tidak ada asal darinya, maka perkara itu tertolak. “(HR. Bukhori Muslim).
Dan beliau telah bersabda dalam hadits yang lain : “(Ikutilah) sunnahku dan sunnah khulafaur rosyidin yang di beri petunjuk sesudahku. Peganglah (kuat-kuat) dengannya, gigitlah sunnahnya itu dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah perkara-perkara yang di adakan-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat. (HR. Tirmidzi dan dia berkata : Hadits ini hasan shohih).

Dalam kedua hadits ini terdapat peringatan yang keras terhadap mengada-adakan bid’ah dan beramal dengannya. Sungguh Alloh telah berfirman : “Apa yang telah di berikan Rasul kepadamu, maka ambillah dan apa yang di larangnya bagimu maka tinggalkanlah. “(QS. Al-Hasyr : 7).
Alloh juga berfirman : “Maka hendaknya orang yang menyalahi perintah-Nya, takut akan di timpa cobaan atau di timpa adzab yang pedih. “(QS. AN-Nuur : 63).

Allah juga berfirman : “Orang-orang yang terdahulu yang pertama-tama (masuk islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridho kepada mereka dan mereka ridho kepada Allah. Dan Allah menyediakan untuk mereka surga-surga yang di bawahnya ada sungai-sungai yang mengalir, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah keberuntungan yang besar. “(QS. At-Taubah : 100).
Allah juga berfirman : “Pada hari ini telah aku sempurnakan untukmu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu ni’mat-Ku dan Aku ridho Islam sebagai agamamu. “(QS. Al Maidah : 3). Dan masih banyak ayat yang semakna dengan ini.

Mengada-adakan Maulid berarti telah beranggapan bahwa Allah belum menyempurnakan agama ini dan juga (beranggapan) bahwa Rasulullah belum menyampaikan seluruh risalah yang harus di amalkan oleh umatnya. Sampai datanglah orang-orang mutaakhirin yang membuat hal-hal baru (bid’ah) dalam syari’at Alloh yang tidak diijinkan oleh Allah.

Mereka beranggapan bahwa dengan maulid tersebut dapat mendekatkan umat islam kepada Allah. Padahal, maulid ini tanpa di ragukan lagi mengandung bahaya yang besar dan menentang Allah dan Rasul-Nya karena Allah telah menyempurnan agama Islam untuk hamba-Nya dan Rasulullah telah menyempurnakan seluruh risalah sampai tak tertinggal satupun jalan yang dapat menghubungkan ke surga dan menjauhkan dari neraka, kecuali beliau telah meyampaikan kepada umat ini.
Sebagimana dalam hadits shohih disebutkan, dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidaklah Allah mengutus seorang nabi kecuali wajib atas nabi itu menunjukkan kebaikan dan memperingatkan umatnya dari kejahatan yang Allah ajarkan atasnya. “(HR. Muslim).

Dan sudah di ketahui bahwa nabi kita adalah nabi yang paling utama dan penutup para nabi. Beliau adalah nabi yang paling sempurna dalam menyampaikan risalah dan nasehat. Andaikata perayaan maulid termasuk dari agama yang di ridhoi oleh Allah, maka pasti Rasulullah akan menerangkan hal tersebut kapada umatnya atau para sahabat melakukannya setelah wafatnya beliau.

Namun, karena tidak terjadi sedikitpun dari maulid saat itu, dapatlah di ketahui bahwa maulid bukan berasal dari islam, bahkan termasuk dalam bid’ah yang telah Rasulullah peringatkan darinya kepada umat beliau. Sebagaimana dua hadits yang telah lalu. Dan ada juga hadits yang semakna dengan keduanya., di antaranya sabda beliau dalam khutbah jum’at : “Amma ba’du, maka sebaik-baiknya perkataan adalah Kitabullah (Al-Qur’an) dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Dan sejelek-jeleknya perkara adalah perkara yang di ada-adakan dan setiap bid’ah itu sesat. “(HR. Muslim).

Ayat-ayat dan hadits-hadits dalam bab ini banyak sekali, dan sungguh kebanyakan para ulama telah menjelaskan kemungkaran maulid dan memperingatkan umat darinya dalam rangka mengamalkan dalil-dalil yang tersebut di atas dan dalil-dalil lainnya.
Namun sebagian mutaakhirin (orang-orang yang datang belakangan ini) memperbolehkan maulid bila tidak mengandung sedikitpun dari beberapa kemungkaran seperti : Ghuluw (berlebih-lebihan) dalam mengagungkan Rasulullah, bercampurnya wanita dan laki-laki, menggunakan alat-alat musik dan lain-lainnya, mereka menganggap bahwa Maulid adalah termasuk BID’AH HASANAH, sedangkan Qo’idah Syara’ (kaidah-kaidah / peraturan syari’at ini) mengharuskan mengembalikan perselisihan tersebut kepada kitab Allah dan sunnah Rasulullah, sebagaimana Allah berfirman :
“ Hai orang-orang yang beriman taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul dan Ulil Amri dari kalian maka bila terjadi perselisihan di antara kalian tentang sesuatu kembalikanlah kepada (kitab) Allah dan (sunnah) RasulNya bila kalian memang beriman kepada Allah dan hari akhir demikian itu lebih baik dan lebih bagus akibatnya. “(QS. Ann Nisaa’ : 59).
Allah juga berfirman : “Tentang sesuatu apapun yang kamu berselisih, maka putusannya (harus) kepada (kitab) Allah, “(QS. Asy Syuraa : 10).

Dan sungguh kami telah mengembalikan masalah perayaan maulid ini kepada kitab Allah. Kami menemukan bahwa Allah memerintahkan kita untuk ittiba’ (mengikuti) kepada Rasulullah terhadap apa yang beliau bawa dan Allah memperingatkan kita dari apa yang dilarang. Allah juga telah memberitahukan kepada kita bahwa Dia Shubhanahu wa Ta’ala telah menyempurnakan Agama Islam untuk umat ini. Sedangkan, perayaan maulid ini bukan termasuk dari apa yang dibawa Rasulullah dan juga bukan dari agama yang telah Allah sempurnakan untuk kita.

Kami juga mengembalikan masalah ini kepada sunnah Rasulullah. Dan kami tidak menemukan di dalamnya bahwa beliau telah melakukan maulid. Beliau juga tidak memerintahkannya dan para sahabat pun tidak melakukannya. Dari situ kita ketahui bahwa maulid bukan dari agama Islam. Bahkan, maulid termasuk bid’ah yang diada-adakan serta bentuk tasyabbuh (menyerupai) orang yahudi dan nasrani dalam perayaan-perayaan mereka. Dari situ jelaslah bagi setiap orang yang mencintai kebenaran dan adil dalam kebenaran, bahwa perayaan maulid bukan dari agama Islam bahkan termasuk bid’ah yang diada-adakan yang mana Allah dan Rasulnya telah memerintahkan agar meningggalkan serta berhati-hati darinya.

Tidak pantas bagi orang yang berakal sehat untuk tertipu dengan banyaknya orang yang melakukan maulid di seluruh penjuru dunia, karena kebenaran tidak diukur dengan banyaknya pelaku, tapi diukur dengan dalil-dalil syar’i, sebagaimana Allah berfirman tentang Yahudi dan Nasrani : “Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata : ‘Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi dan Nasrani’. Demikianlah itu (hanya) angan-angan kosong mereka belaka. Katakanlah :’ Tunjukkanlah bukti kebenaran jika kamu adalah orang yang benar .” (QS. Al Baqarah : 111).
Allah juga berfirman : “Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang-orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Alloh. “(QS. Al An’aam : 116 ). Wallahu a’lamu bis showab.


Maroji’ :
Diterjemahkan oleh Ustadz Abu Ilyas Agus Su’aidi As-Sadawy dari kitab At-Tahdzir minal Bida’, hal 7-15 dan 58-59, karya Syaikh Abdul Azis bin Abdullah bin Baaz rahimahullah. Untuk lebih jelasnya lagi dapat dilihat dalam bebrapa rujukan berikut :
1. Mukhtashor Iqtidho’ Ash Shirot Al Mustaqim (hal. 48-49) karya ibnu Taimiyah.
2. Majmu’u Fataawa (hal. 87-89) karya Asy Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin.

Senandung – Senandung Syaithan

Oleh : al Ustadz ‘Aunur Rafiq bin Ghufron, Lc.
Malam itu pendengarannku melayang cepat pada sederetan anak muda seusia denganku yang berjajar di ruang teras tetanggaku, yang mana sembari membawa gitar, mereka melantunkan senandung-senandung serta beberapa lagu yang sedang “top in” saat ini.

Aku tersenyum geli saat memandang dan mendengar suara mereka yang bukan lagi agak tetapi sangat sumbang namun dengan penuh semangat mereka bersorak sorai dalam bernyanyi. Mereka balas tersenyum padaku, kemudian kembali asyik medendangkan dan menggemerincingkan gitarnya dengan berbagai syair-syair cinta khas anak muda. Mulut mereka tak henti menyenandungkan bait-bait puitis yang barangkali seakan mereka bersiap menjadi penyanyi ternama kelas kampung…

Itulah sedikit gambaran yang terjadi pada sebagian besar para pemuda dan remaja di tanah air tercinta ini. Seakan mereka tidak dikatakan pemuda dan remaja jika mereka tak bias mendendangkan sebait syair bernada dan menyenandungkan lagu-lagu roman bernuansa cinta serta beralaskan pemujaan terhadap wanita. Tak lupa dalam benak dan keseharian mereka, gemerincing alat musik pun musti mengiringi indahnya lantunan lagu-lagu.

Maka secepat itu pula aku teringat kepada beberapa nasehat para ulama ahlus sunnah yang mereka guratkan dalam seraut tulisan dan ucapan pada kitab-kitab mulia mereka…bersangkutan dengan nyanyian, lagu dan atau musik…

Dan kepada kalian teman-teman dan saudaraku kaum muslimin, wahai kuncup-kuncup yang sedang mekar, yang terdidik untuk mempunyai rasa malu, kusampaikan nasehat-nasehat dari orang-orang mulia ini demi kemuliaan diriku dan kalian…

Wahai saudaraku pemuda, tatkala engkau mengakui bahwa Allah ta’ala adalah Rabb Maha Mulia yang engkau tunduk kepada-Nya atas perintah dan larangan yang termaktub dalam kitab-Nya…apa yang kau pikirkan ketika engkau menjumpai firman-Nya…

“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (QS. Luqman ; 06)

Yang diterangkan oleh sahabat Nabi, Abdullah ibn Mas’ud –radliyallahu’anhu- sambil beliau bersumpah tiga kali bahwa lahwul hadits (perkataan tidak berguna) dalam ayat itu adalah al ghina’/ nyanyian. “Demi Allah, yang tiada sesembahan yang haq selain Dia, diulang-ulangnya tiga kali.” (dlm. kitab Tahrim ‘ala Ath Tharb halaman 143)

Teman-teman yang baik, sungguh jikalau suatu penjelasan dari seseorang dengan disertai sumpah, apalagi sumpah itu terucap hingga tiga kali, pun sumpah itu keluar dari bibir sahabat mulia ‘Abdullah ibn Mas’ud maka sungguh ini telah cukup sebagai pelipur lara kalian untuk mengetahui bahwa music yang kita dendangkan selama ini adalah haram, tidak dibenarkan oleh agama yang mulia ini…

Sadarlah wahai temanku yang baik, seandainya kita mencermati kenyataan yang ada, akan jelas bagi kita bahwa nyanyian dan musik itu menghalangi hati dari (memperhatikan dan memahami) Al Qur’an. Bahkan keduanya mendorong untuk terpesona menatap keindahan dunia dan kemaksiatan. Oleh sebab itulah sebagian orang-orang mulia panutan kita yaitu para ulama, menyebutkan nyanyian dan musik-musik ini bagaikan al qur’an-nya syaithan atau tabir yang menghalangi seseorang hamba dari Ar Rahman. Sebagian mereka menyerupakannya dengan mantera yang menggiring orang melakukan perbuatan liwath (homoseks atau lesbian) dan zina, wal’iyadzu billah…

Sadarlah wahai temanku yang baik, kalaupun seandainya mereka mendengar Al Qur’an (dibacakan), tidaklah berhenti gerak mereka dan ayat-ayat itu tidak berpengaruh bagi perasaannya. Sebaliknya apabila dilantunkan sebuah lagu pada manusia-manusia terlena niscaya akan masuklah nyanyian itu dengan segera ke dalam pendengarannya, terbesit dari kedua matanya ungkapan perasaannya, kakinya bergoyang-goyang, menghentak-hentak ke lantai, tangannya bertepuk gembira serta api syahwat kerinduan dalam dirinya pun memuncak.

Ketahuilah teman-temanku yang baik, sungguh lagu-lagu yang kita dendangkan akan serta bisa membuat hati kita menjadi keras, susah menerima kebenaran yang datang dari alquran, serta terbuai dalam angan yang terlalu tinggi tanpa mampu didaki…

Tatkala hati kita telah lalai, maka seluruh amalan kita akan berangsur menjadi nista. Seluruh tindak tanduk kita menjadi hina dan seluruh amalan kita menjadi tersia-sia, karena hati adalah akar dari segala kebaikan diri pun dengan keburukannya…

“Ketahuilah bahwa dalam tubuh ini terdapat segumpal daging. Jika ia baik maka baik pula seluruh tubuh ini. Dan sebaliknya apabila ia rusak maka rusak pula seluruh tubuh ini.” (HR. Al Bukhari 1/126)

Pernahkah terlintas dalam benak kita bahwa alquran ini terbilang 30 juz…??? Namun telahkah kita menghafal-nya dalam sekedar juz 30…??? Padahal jika kita ditanya tentang lagu, maka sontak semua dari kita menjawab, “aku hafal satu album…!” Maka, celaka manalagi yang melebihi besarnya kecelakaan ini…??? Lagu senandung syaithan lebih dicintai dari pada alquran Firman Ar Rahman…!!!

Seandainya lebih dalam kita renungi perkataan mulia, panutan kita shallallahu ‘alaihi wa sallam…

“Sungguh akan ada di kalangan umatku suatu kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat-alat musik … .” (HR. Al Bukhari 10/51/5590)

Perhatikan wahai teman, kata akan ada, tentu menunjukkan sebuah hukum asal dari sebuah perkara…jika “akan ada yang menghalalkan, maka mafhum-nya (dapat dipahami) bahwa hukum sesuatu itu adalah haram…!”

Bukankah demikian…???!!!

Bahkan tatkala kita berada dalam sebuah kendaraan, syaithan-pun senantiasa mengiringi kita agar kita selalu bersenandung. Hal ini ditegaskan oleh ‘Abdullah Ibnu Mas’ud tatkala beliau berkata, “Jika seseorang menaiki kendaraan tanpa menyebut nama Allah, syaithan akan ikut menyertainya dan berkata, ‘Bernyanyilah kamu!’ Dan apabila ia tidak mampu memperindahnya, syaithan berkata lagi : ‘Berangan-anganlah kamu (mengkhayal)’.” (Dikeluarkan oleh Abdur Razzaq dalam buku Al Mushannaf 10/397 sanadnya shahih)

Pun beliau –Abdullah ibn Mas’ud- juga menambahkan,“Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati seperti air menumbuhkan tanaman.” (dikeluarkan Ibnu Abi ad Dunya dan dikatakan shahih isnadnya oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Tahrim ‘alath Tharb ( halaman 145-148 )

Sungguh miris hati ini tatkala melihat saudara-saudara dan teman-temanku kini semakin gemar berebut jatah untuk tampil di panggung-panggung catwalk dengan audisi-audisi pencari bakat dan penyanyi…

Tidak cukupkah bagi kita nasehat indah dari Nabi yang mulia…

“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan bagiku --atau mengharamkan-- khamr, judi, al kubah (gendang), dan seluruh yang memabukkan haram.” (HR. Abu Dawud, Al Baihaqi, Ahmad, Abu Ya’la, Abu Hasan Ath Thusy, Ath Thabrani dalam Tahrim ‘alath Tharb halaman 55-56)

Dan tentu, tak dapat disangkal bahwa nyanyian, lagu dan alat music senantiasa akan menjadikan pemain dan pendengarnya, mabuk kepayang penuh dengan buaian dan angan…

Dan titah beliau yang mulia…

Dari ‘Imran Hushain ia berkata,”Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Akan terjadi pada umatku, lemparan batu, perubahan bentuk, dan tenggelam ke dalam bumi.” Dikatakan : “Ya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, kapan itu terjadi?” Beliau menjawab : “Jika telah tampak alat-alat musik, banyaknya penyanyi wanita, dan diminumnya khamr-khamr.” (HR. At Tirmidzi, dlm kitab Tahrim ‘alath Tharb halaman 63-64)

Sungguh, titah nabi yang mulia kini telah menjadi nyata…!!!

Betapa banyak penyanyi wanita yang dengan memajang murah keindahan tubuhnya, melantunkan bait demi bait lantunan – lantunan syaithan ini…!!!

Pun dengan seorang lelaki yang dicipta penuh wibawa, seakan menjadi BANCI karena cengeng akibat buaian – buaian lagu yang mereka hanyut di dalamnya. Mungkin di antara sebagian teman-teman ada yang berkata,” baiklah jika nyanyian dan lagu itu haram. Maka kami akan bernasyid islami untuk dakwah…!”

Sepintas kata-kata ini indah, namun racun ataukah madu yang dikandung-nya…???

Wahai akhi-akhi yang kini mulai gemar bernasyid…senantiasa-lah sadar bahwa syaithan itu penuh dengan talbis/tipuan…! Tatkala kita tidak sadar atasnya, maka hancurlah kita…

Maka dengarkan titah ulama kaum muslimin yang mulia tatkala beliau ditanya…

“Wahai syaikh, telah banyak beredar di kalangan pemuda muslim kaset-kaset nasyid yang mereka sebut dengan nasyid islami, bagaimanakah terhadap hal ini…???”

Maka dengan indah asy Syaikh mantan guru besar dari Universitas Islam al Madinah itu memberikan bimbingan…

Jika an-nasyid ini tidak disertai alat-alat musik, maka saya katakan pada dasarnya tidak mengapa, dengan syarat nasyid tersebut terlepas dari segala bentuk pelanggaran syariat, seperti meminta pertolongan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, bertawassul kepada makhluk, demikian pula tidak boleh dijadikan kebiasaan dalam mendengarkannya, karena akan memalingkan generasi muslim dari membaca, mempelajari, dan merenungi Kitab Allah Azza wa Jalla. Dijelaskan oleh nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa…

“Barangsiapa yang tidak membaca Al-Quran dengan membaguskan suaranya, maka dia bukan dari golongan kami.” [HR. Al-Bukhari no. 5023 dan Muslim no. 232-234]

Akan tetapi jelas bahwa yang aku lihat nasyid-nasyid yang disebut nasyid-nasyid agama, dahulunya adalah termasuk kekhususan thariqah-thariqah kaum sufi…

(diambil dan diringkas dari kitab Al-Bayaan Al-Mufiid An Hukmit Tamtsiil Wal Anaasyiid, Abdullah Al-Sulaimani)

Maka, belum terlambat teman…

Segera dan mari kita sadar dari lamunan dan buaian angan dalam nyanyian…

Lekaslah sadar dan tinggalkan senandung-senandung syaithan…

Lekas kembali menyenandungkan dan mentilawahkan firman-firman Ar Rahman…

Serta sejukkan hati kita, cukupkan diri atasnya…dengan al quran…

Merasa lah cukup hati dengannya, dan jangan engkau tambah…

……

Ditulis oleh hamba yang faqir pada ampunan Rabb-Nya, Didit Fitriawan di sebuah fajar yang indah di kota Sidoarjo, menjelang ta’lim bersama al Ustadz ‘Aunur Rafiq bin Ghufron, Lc.

Ketentuan Dasar Dakwah Salafiyah

Oleh
Syaikh DR. Muhammad bin Musa Alu Nashr



Sesungguhnya dakwah Salafiyah telah mengakar kokoh dalam sejarah. Dia bukanlah dakwah yang baru lahir kemarin. Telah ada sejak zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan sejak zaman para nabi sebelumnya. Oleh karena itu, ushul dan kaidah dakwah Salafiyah tidak diambil dari akal dan ijtihad serta istihsan (anggapan baik) manusia, akan tetapi diambil dari sumbernya yang suci yaitu Al-Kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman Salaful Umat ini.

Diantara ma’alim ushul (ketentuan dasar) dakwah Salafiyah yang terpenting adalah.

[1]. Dakwah Salafiyah menyeru kepada asal dan rukun yang paling mendasar, yaitu kepada Tauhid dan memperingatkan dari kesyirikan, karena dakwah Salafiyah merupakan lanjutan dari dakwah para nabi.

Semua dakwah yang tidak dibangun diatas asal dan rukun ini akan gagal. Ibarat membangun atap sebelum tiangnya, sehingga atapnya akan menimpa kepada penghuninya.

Umat Islam telah menuai bencana dan malapetaka dari dakwah yang tidak bersandar kepada asal dan tidak mengikuti manhaj dakwah para nabi, yaitu memulai dakwah (seruan) kepada tauhid dan pengesaan Allah dalam ibadah. Seluruh nabi datang untuk menyampaikan kepada kaum mereka satu perkataan yaitu.

“Artinya : Hai kamumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Ilah bagimu selainNya” [Al-A’raaf ; 65]

Oleh karena itu dakwah Salafiyah mencintai orang karena tauhid, dan membenci orang yang menyelisihi tauhid.

[2]. Dakwah Salafiyah menyeru kepada ittiba (mengikuti) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja secara lahir dan batin.

Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menggantungkan kesuksesan dan keselamatan pada ittiba Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman.

“Artinya : Dan barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam. Dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali” [An-Nisa’ : 115]

FirmanNya.

“Artinya : Dan jika kamu ta’at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk” [An-Nur : 54]

Dan firmanNya.

“Artinya : Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahNya takut akan diitimpa fitnah (cobaan) atau ditimpa adzab yang pedih” [An-Nur : 63]

Maksudnya ditimpa fitnah dengan kesesatan dan kesyirikan. Semoga Allah melindungi kita darinya. Bahkan Allah menyatakan bahwa syarat untuk mencintai dan supaya dicintai Allah adalah ittiba’ (mengikuti) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah berfirman.

“Artinya : Katakanlah :’Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah dakan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu’. Allah Maha Penguasa lagi Maha Penyayang” [Ali-Imran : 31]

Barangsiapa yang ingin dimasukkan ke dalam golongan orang yang Allah cintai, maka dia harus mengikuti jalan Rasulullah dan merasa cukup dengan atsar (hadits) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, syia’ar dakwah Salafiyah adalah “firman Allah, sabda Rasulullah yang shahih serta manhaj dan pemahaman salaful umat”.

Termasuk ketentuan dasar dakwah Salafiyah adalah berbeda dengan kelompok jamaah lainnya baik yang kuno atau yang modern, bersandar kepada pemahaman Salaf secara ilmu dan amal. Maka Salafi (orang-orang yang mengikuti Salaf) tidak akan mengatakan : “Kami satu generasi setara dengan mereka”. Akan tetapi Salafi akan mengatakan : “Kami satu generasi yang mengikuti mereka, yang telah dipuji Allah dalam firmanNya.

“Artinya : Orang-orang yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual belia dari mengingat Allah” [An-Nur : 37]

Dan firman Allah.

“Artinya : Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih” [At-Taubah : 108]

Kami mengikuti mereka, karena mereka telah ridho dari Allah, Allah merodhoi mereka dan mereka meridhoi Allah.

[3]. Dakwah Salafiyah melakukan Tasfiyah (pemurnian) terhadap Islam dari semua kebid’ahan, khurafat, kerancuan, pemikiran sesat dan falsafah yang tidak diterangkan Allah.

Dakwah Salafiyah melakukan tazkiyah (pensucian) terhadap jiwa kaum muslimin agar mereka beruntung. Allah berfirman.

“Artinya : Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” [Asy-Syams : 9-10]

Dakwah Salafiyah mengambil ilmu yang murni, dari sumber yang murni dan menyampaikannya (ilmu) dalam keadaan murni. Karena jika ilmu tercampuri hadits-hadits dho’if (lemah) dan palsu, aqidah yang menyimpang lagi bathil, falsafah’ kerancuan dan sampah pemikiran manusia, maka ilmu itu akan menjadi racun yang mematikan aqidah, pemikiran dan manhaj mereka. Akan memutuskan jalan mereka mencapai ridho Allah.

Tasfiyah (pemurnian) dan tazkiyah (penyucian jiwa) merupakan keistimewaan dan sendi-sendi dakwah ini. Madrasah Al-Imam Mujadid zaman ini Al-Albany telah melaksanakan peran yang cukup baik. Sebagai lanjutan dari madrasah Salafiyah pertama sejak zaman Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya hingga zaman ini dan sampai hari kiamat nanti.

[4]. Dakwah Salafiyah memperhatikan ilmu dan ulama, karena asas perbaikan agama hanya bisa tegak dengan ilmu.

Lima ayat pertama yang diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak beliau berilmu dan memerintahkan beliau membaca. Allah berfirman.

“Artinya : Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dengan segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Paling Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” [Al-Alaq : 1-5]

Qalam (alat tulis) merupakan asas dalam memperoleh ilmu, Allah pergunakannya ia untuk bersumpah karena kemuliaannya dan kemuliaan ilmu yang bisa dicapai, Allah berfirman.

“Artinya : Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis” [Al-Qalam : 1]

Kemudian Allah menjadikannya sebagai makhluk pertama karena kemuliaan dan kemulian ilmu dan pengetahuan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Makhluk pertama yang Allah ciptakan adalah qalam kemudian Dia berfirman : “Tulislah!” Qalam menjawab : “Apa yang saya tulis?” Allah berfirman : “Tulislah apa yang terjadi dan akan terjadi”. Lalu qalam menulis segala sesuatu sampai hari kiamat”.

Dakwah Salafiyah memuliakan ulama, tetapi tidak ekstrim terhadap mereka. Karena tahu bahwa mereka adalah manusia biasa yang bisa salah dan benar. Mereka diikuti kebenarannya. Kesalahannya. Kesalahan mereka sama sekali tidak menurunkan kedudukan dan martabat mereka di dalam dakwah ini. Dakwah Salafiyah juga tidak mencela ulama rabbani yang telah menegakkan kebenaran dan berbuat adil. Ulama dakwah ini adalah mereka yang telah diakui oleh semua orang karena keimanan mereka dalam agama dan kedalaman ilmu mereka serta menjadi penerang petunjuk.

Kami telah melihat, alangkah susahnya orang awam atau orang yang berilmu setelah wafatnya imam kita yang tiga : Ibnu Baaz, Al-Albani dan Ibnu Utsaimin. Mereka dan yang sekelas dengan mereka serta murid-murid mereka adalah penjaga umat ini dari kekacauan dan kesesata, karena ulama adalah pewaris para nabi sepanjang masa.

[5]. Dakwah Salafiyah mengajak kaum muslimin yang mengikuti contoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bekerjasama (ta’awun) dalam kebaikan dan taqwa, tidak mengajak para ahli bid’ah dan hizbiy (orang partai).

Hizbiy telah memecah belah umat dan membuat mereka tidak akan berpendapat kecuali dengan pendapat partai, sehingga kehizbiyahan mengakar dalam hati mereka. Mereka mencintai partai atau kelompok sebagaimana Bani Israil mencintai anak sapi, wal iyadzu billah.

Mereka (orang partai) mengobarkan slogan : “Ini dari kelompok saya dan dia dari kelompok musuh saya”, lalu bergabung dengan semua hizbiy dan menjauhi semua sunniy (orang yang mengikuti sunnah) walaupun sunniy tersebut orang paling benar di zamannya.

[6]. Dakwah Salafiyah yang penuh barakah ini memperingatkan dan mencela fanatik golongan serta sangat membenci perpecahan.

Juga mencela dan memperingatkan pelakunya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mencela orang yang berpecah belah dan fanatik golongan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka” [Ar-Ruum : 31-32]

Sebagaimana dakwah Salafiyah (berkat hidayah Allah) berada di tengah-tengah antara orang yang ghuluw (ekstrim) dan orang yang taqshir (orang yang meremehkan). Mereka adalah kelompok yang adil dan tengah-tengah.

Semoga Allah merahmati Al-Hasan Al-Bashri, ketika berkata : “Agama kalian yang telah diturunkan kepada Nabi kalian di antara ghuluw yaitu ekstrim dan jaafi (orang yang suka meremehkan urusan)”

Demikianlah Allah memberikan kesitimewaan kepada umat ini berupa keadilan dan kesederhanaan.

Allah berfirman.

“Artinya : Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (ummat Islam), ummat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu” [Al-Baqarah : 143]

Manhaj Salaf mengajak kepada sikap netral dan adil dalam setiap sisi kehidupan, dalam aqidah, pemikiran, perkara dunia dan juga urusan akhirat, sesuai dengan menhaj Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya. Hal ini telah dijelaskan dan dikuatkan oleh hadits-hadits dan atsar yang banyak sekali. Dan sekarang tidak mungkin saya menjelaskan lebih dari itu.

[7]. Dakwah Salafiyah, berdakwah kepada Allah berdasarkan ilmu dan keyakinan

Dan berdakwah secara secara jelas dengan hujjah serta membenci kesamaran dan ketidak jelasan, slogan mereka alah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Saya bawakan kepada kalian agama yang terang benderang ; malamnya seperti siangnya”

Oleh karena itu beliau meninggalkan umat ini di atas agama yang terang benderang dan jalan yang lurus. Mereka yang bergerak sembunyi-sembunyi dan takut bergerak pada siang hari, menebar syubhat dan keraguan ke dalam jiwa kaum muslimin. Sehingga kaum muslimin tetap waspada terhadap mereka. Kita tidak pernah tahu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bergerak di kegelapan, akan tetapi beliau bergerak di terangnya siang hari. Maka dakwah Salafiyah terang benderang, malamnya seperti siangnya dan tidaklah tergelincir darinya kecuali orang yang binasa.

[8]. Dakwah Salafiyah beramar ma’ruf dan mencegah kemungkaran serta menegakkan kebenaran.

Tidak takut celaan orang yang mencela sambil tetap memperhatikan ketentuan hikmah, nasehat yang baik dan kelemah lembutan. Karena jika kelembutan masuk pada sesuatu, akan menghiasinya dan bila hilang dari sesuatu maka akan merusaknya, serta memperhatikan maslahat dan mafsadat termasuk dalam fiqih dakwah. Tidak mendapat taufiq dalam hal ini kecuali orang yang dikehendaki baik oleh Allah. Ini kaidah baku, kaidah ushul yang telah ditetapkan para ulama, yaitu menghindari mafsadat (kerusakan) lebih didahulukan dari mengambil maslahat (kebaikan). Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah.

“Artinya : Wahai Aisyah, seandainya bukan karena kaummu yang baru saja meninggalkan kejahiliyahan, sungguh saya akan hancurkan ka’bah dan saya jadikan sesuai dengna pondasi dasar Ibrohim”.

Beliau tidak melakukannya karena takut mafsadat (kerusakan). Seorang alim, pelajar dan da’i manhaj salaf seharusnya melihat segala sesuatu dengan cahaya Allah dan bashirah sehingga dapat mengenal dan membedakan mana maslahat dan mafsadat.

[9]. Dakwah Salafiyah adalah orang yang paling mengenal kebenaran dan paling sayang kepada makhluk.

Dia tidak tertipu dengan banyaknya orang dan tidak merasa kecil hati dengan sedikitnya orang yang mengikutinya, tidak tertipu dengan banyaknya orang yang celaka.

Lihatlah disana ada seorang nabi yang bersamanya seorang, sekelompok dan ada nabi yang tidak memiliki pengikut seorangpun, ini membuat mereka tidak mundur dan terhalang dari kebenaran dan dakwah yang benar. Pada setiap masa pengikut dakwah yang benar itu sedikit, dalam hadits dijelaskan.

“Artinya : Senantiasa ada sekelompok dari umatku yang menegakkan kebenaran, tidak merugikan mereka orang yang menyelisihinya atau menghinanya sampai datang hari kiamat”.

Lihatlah wahai muslim, wahai hamba Allah kepada kebenaran yang dibawa dakwah ini dan janganlah melihat kepada banyaknya orang.

Allah berfirman.

“Artinya : Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih” [Saba’ : 13]

Sebagai penutup, dakwah salafiyah beramal dengan dalil dan mengedepankan dalil atas semua pendapat orang. Menghukumi perkataan orang kepada dalil, manhaj, aqidah dan ketentuan dasar dakwah Salafiyah dan tidak menghukumi ketentuan dasar dalwah Salafiyah kepada pendapat orang.

Seandainya kebenaran diukur dengan pendapat orang, maka sungguh mengusap bagian bawah khuf (sepatu) lebih utama dari atasnya padahal yang benar berdasarkan dalil adalah mengusap bagian atas sepatu.

Saya sampaikan perkataan saya ini dan saya memohon kepada Allah supaya kita semua diberikan kemantapan di atas manhaj Salaf dan aqidah Salaf sampai mati dan semoga Allah menjadikan kita semua orang yang pantas bernisbat kepadanya. Sesungguhnya Allah yang menguasainya dan mampu untuk menunaikannya.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VI/1423H/2002M Rubrik Liputan Khusus yang diangkat dari ceramah Syaikh Muhammad bin Musa Alu Nashr Tanggal 3-6 Muharram 1423H di Ma’had Ali Al-Irsyad Surabaya]

Meniti Ilmu di Atas Manhaj Salaf

Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim Al-Buthoni


Manhaj Salaf [1], merupakan satu-satunya metode pemahaman dan pengamalan agama Islam yang dijamin kebenarannya oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh karena itu, jaminan mendapatkan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta'ala hanya diberikan kepada para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti petunjuk mereka dengan ihsan (kebaikan). Dinyatakan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

"Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar (para sahabat Radhiyallahu 'anhum) dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar" [at-Taubah/9:100].

Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan jaminan keridhaan-Nya bagi orang-orang yang mengikuti petunjuk para sahabat Radhiyallahu 'anhum, dengan syarat mereka mengikutinya dengan ihsan (kebaikan). Artinya, yaitu mengikuti petunjuk mereka secara keseluruhan dalam memahami dan mengamalkan agama ini, baik dalam aqidah (keyakinan), ibadah, tingkah laku, bergaul, bersikap, berdakwah, dan semua sisi lainnya dalam beragama. Ringkasnya, mengikuti petunjuk para sahabat Radhiyallahu 'anhum dalam mengilmui (memahami) dan mengamalkan agama ini secara menyeluruh.

Tentang penafsiran ayat di atas, Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan, ialah orang-orang yang mengikuti jejak (petunjuk) mereka yang baik, dan sifat-sifat mereka yang terpuji, serta selalu mendoakan kebaikan bagi mereka secara diam-diam maupun terang-terangan”.[2]

MANHAJ SALAF: MANHAJ ILMU DAN AMAL
Inilah salah satu keistimewaan terbesar yang terdapat pada manhaj salaf. Manhaj ini dibangun di atas ilmu (pemahaman) agama yang benar, dan pengamalan yang baik. Seseorang yang benar-benar mengikuti manhaj ini, ia akan terbimbing dalam pemahaman agamanya, sehingga akan terhindar dari segala bentuk syubhat [3], sekaligus terbimbing dalam pengamalan ilmu tersebut sehingga terhindar dari segala bentuk syahwat (hawa nafsu, Red.)[4]

Dengan keistimewaan ini pula, Allah Subhanahu wa Ta'ala memberi pensifatan terhadap petunjuk yang dibawa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam firman-Nya:

"Kawanmu (Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam) tidak sesat (dalam ilmu) dan tidak pula menyimpang (dalam amal)" [an-Najm/53:2]

Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala mensucikan petunjuk yang dibawa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dari dua kerusakan. Yaitu: adh-dhalâl (kesesatan) [5], dan al-ghawâyah/al-ghayy (penyimpangan) [6]. Ini berarti, tedapat dua bimbingan sekaligus. Yaitu al-huda (bimbingan dalam ilmu dan pemahaman) dan ar-rusyd (bimbingan dalam amal). Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ialah seorang yang paling sempurna dalam memahami dan mengamalkan agama ini.[7]

Demikian pula dua bimbingan ini ada pada petunjuk yang dibawa al-khulafa` ar-râsyidîn (para sahabat utama yang menggantikan kepemimpinan Rasulullah setelah beliau Shallallahu 'alaihi wafat). Disebutkan dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnah (petunjuk)ku dan petunjuk al-khulafa’ ar-râsyidîn al-mahdiyyin …”.[8]

Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebut para sahabat utama yang menggantikan kepemimpinan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai al-khulafa’ ar-râsyidîn al-mahdiyyin. Artinya para khalifah yang memiliki ar-rusyd, yaitu bimbingan dalam amal (lawan dari al-ghawâyah); dan memiliki al-huda, yaitu bimbingan dalam ilmu dan pemahaman (lawan dari adh-dhalâl). Ini menunjukkan, seseorang yang benar-benar mengikuti petunjuk al-khulafa’ ar-râsyidîn dan termasuk pula para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam secara keseluruhan, maka orang itu akan terbimbing dengan baik dalam memahami dan mengamalkan agama Islam ini.

Kita mengetahui, para ulama Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dari kalangan at-Tabi’in yang menimba ilmu secara langsung dari para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka tidak hanya mempelajari secara teori belaka, akan tetapi juga mempelajari cara mengamalkan dan mempraktekkan ilmu tersebut.

Abu 'Abdirrahmân 'Abdullah bin Habib bin Rubayyi’ah as-Sulami al-Kuufi [9] berkata: “Kami mempelajari Al-Qur`ân dari suatu kaum (para sahabat Radhiyallahu 'anhum) yang menyampaikan kepada kami, bahwa dulunya, ketika mereka mempelajari sepuluh ayat (Al-Qur`ân dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam), mereka tidak akan berpindah ke sepuluh ayat berikutnya sampai mereka (benar-benar) memahami kandungan ayat-ayat tersebut. Maka kamipun mempelajari Al-Qur`ân sekaligus cara mengamalkannya. Dan setelah kami nanti, akan datang suatu kaum yang mereka mempelajari Al-Qur`an seperti meminum air, yaitu Al-Qur`ân itu tidak melampui tenggorokan mereka (maksudnya, tidak masuk ke dalam hati mereka)”. [10]

PARA ULAMA SALAF, MEREKA MERUPAKAN IMAM DALAM ILMU DAN AMAL
Jika mencermati dengan seksama biografi para imam besar Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, kita akan mengetahui, mereka tidak hanya disifati sebagai orang-orang yang mendalam ilmu agamanya saja, akan tetapi, mereka juga orang-orang yang menjadi teladan dalam ibadah dan amal shalih.

Misalnya Rabî’ bin Khutsaim al-Kûfi (wafat tahun 65 H) [11], ia merupakan salah seorang imam besar dari kalangan Tabi’in ‘senior’ yang terpercaya dalam meriwayatkan hadits. Dia termasuk murid sahabat yang mulia 'Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu . Lantaran ketekunannya dalam ibadah dan ketakwaan, sehingga guru beliau sendiri -Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu - memujinya dengan mengatakan: “Seandainya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihatmu, maka sungguh beliau akan mencintaimu. Setiap kali melihatmu, aku mengingat orang-orang yang selalu menundukkan diri (kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala).”[12]

Muhammad bin Sirin al-Bashri rahimahullah (wafat tahun 110 H) [13], ia seorang imam besar Tabi’in yang sangat terpercaya dan teliti dalam meriwayatkan hadits. Di dalam biografinya diterangkan, beliau ialah seorang yang sangat wara` (hati-hati dalam masalah halal dan haram) dan seorang yang tekun beribadah. Abu ‘Awânah al-Yasykuri mengomentari tentang beliau: “Aku melihat Muhammad bin Sirin di pasar; tidak seorangpun melihatnya, kecuali orang itu akan mengingat Allah”.[14]

Tsabit bin Aslam al-Bunâni al-Bashri (wafat tahun 123 H atau 127 H) [15], ia juga seorang imam besar dari kalangan Tabi’in yang terpercaya dalam meriwayatkan hadits. Dia termasuk murid senior sahabat yang mulia, Anas bin Mâlik Radhiyallahu 'anhu . Tsabit bin Aslam sangat tekun beribadah, bahkan ia disifati sebagai orang yang paling tekun beribadah pada masanya, sehingga Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu memujinya dengan mengatakan: “Sesungguhnya, Tsabit termasuk pembuka pintu-pintu kebaikan”.[16]

Dalam memujinya, Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu mengisyaratkan kepada hadits yang diriwayatkannya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya di antara manusia ada pembuka pintu-pintu kebaikan dan penutup pintu-pintu keburukan”.[17]

'Abdullah bin al-Mubarak al-Marwazi rahimahullah (wafat tahun 181 H) [18], ia seorang imam besar ternama dari kalangan Atba’ut Tabi’in (murid para Tabi’in) yang sangat terpercaya dan teliti dalam meriwayatkan hadits. Pensifatan terhadapnya, ialah sebagai orang yang pada diri beliau terkumpul semua sifat-sifat kebaikan; sampai-sampai Imam Sufyan bin ‘Uyainah memujinya dengan mengatakan: “Aku memperhatikan (membandingkan) sifat-sifat para sahabat Radhiyallahu 'anhum, dengan sifat-sifat 'Abdullah bin al-Mubarak, maka aku tidak melihat para sahabat Radhiyallahu 'anhum melebihi keutamaannya, kecuali karena para sahabat Radhiyallahu 'anhum menyertai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berjihad bersamanya".[19]

Begitu pula dengan Ibnu Hajar dalam Taqrîbut-Tahdzîb (hlm. 271), ia berkata: “Dia ('Abdullah bin al-Mubarak, Red.) adalah seorang yang terpercaya lagi sangat teliti (dalam meriwayatkan hadits), memiliki ilmu dan pemahaman (yang mendalam), dermawan lagi (sering) berjihad (di jalan Allah Azza wa Jalla). Pada dirinya terkumpul (semua) sifat-sifat baik”.

Sehubungan dengan pembahasan di atas, ada satu nukilan menarik yang disebutkan oleh al-Khathib al-Baghdaadi dalam kitab beliau, Tarikh Baghdad (9/58), dan adz-Dzahabi dalam Siyaru A’lâmin Nubalâ` (13/203), dalam biografi imam besar penghafal hadits yang ternama, yaitu Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats as-Sijistani (wafat tahun 275 H), pemilik kitab Sunan Abi Dawud.

Dalam nukilan itu disebutkan mata rantai guru-guru beliau dalam mempelajari ilmu hadits sehingga diketahui sampai kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka ialah Imam Ahmad bin Hambal, beliau guru utama Imam Abu Dawud; kemudian Waqi’ bin al-Jarrah ar-Ruaasi, beliau termasuk guru utama Imam Ahmad; lalu Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri, beliau merupakan guru utama Imam Waqi’ bin al-Jarrah; selanjutnya Manshur bin al-Mu’tamir, beliau termasuk guru utama Sufyan ats-Tsauri, selanjutnya Ibrahim bin Yazid an-Nakhâ`i, ialah termasuk guru utama Manshur bin al-Mu’tamir; kemudian ‘Alqamah bin Qais an-Nakhaa`i, beliau merupakan guru utama Ibrahim an-Nakhâ`i dan termasuk murid "senior' sahabat yang mulia 'Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu. Selanjutnya 'Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu, beliaulah yang langsung menimba ilmu dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Mereka ini, semua merupakan imam-imam besar Ahlul-Hadits yang sangat terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga hadits-hadits mereka dicantumkan dalam kitab-kitab hadits ternama, seperti Shahîh al-Bukhâri, Shahîh Muslim, dan lain-lain.

Yang menarik dari nukilan itu, bahwasanya semua imam-imam besar tersebut disifati sebagai “orang yang diserupakan dengan gurunya dalam petunjuk dan tingkah lakunya”; mulai dari Sahabat 'Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu, beliau diserupakan dengan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam petunjuk dan tingkah lakunya, kemudian ‘Alqamah diserupakan dengan 'Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu dalam petunjuk dan tingkah lakunya, seterusnya sampai kepada Imam Abu Dawud rahimahullah, beliau diserupakan dengan Imam Ahmad bin Hambal dalam petunjuk dan tingkah lakunya.

Dalam nukilan tersebut, kita mendapati para ulama Ahlus Sunnah dalam menimba ilmu agama tidak hanya mengutamakan pengambilan ilmu secara teori belaka, akan tetapi juga mengambil dan meneladani petunjuk dan tingkah laku guru-guru mereka secara maksimal, sehingga Imam Abu Dawud dapat mengambil dan meneladani petunjuk dan tingkah laku Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melalui teladan yang diambil dari guru-guru beliau, padahal rentang masa antara beliau dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat jauh.

NASIHAT UNTUK PARA PENGIKUT MANHAJ SALAF
Dari keterangan di atas sangat jelaslah, di antara keistimewaan terbesar yang ada pada manhaj salaf, yaitu perhatian dan kesemangatan mereka dalam mempelajari dan mengamalkan petunjuk Al-Qur`ân dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh karena itu, maka kita yang menisbatkan diri kepada manhaj ini, seharusnya berusaha untuk mengikuti petunjuk mereka, agar kita termasuk ke dalam golongan “orang-orang yang mengikuti petunjuk mereka dengan kebaikan” dan mendapatkan ridha Allah Azza wa Jalla. Karena kalau bukan kita – terlebih lagi para penuntut ilmu di antara kita – yang semangat mempelajari dan mengamalkan petunjuk Al- Qur`ân dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu siapa lagi?!

Marilah kita perhatikan dengan seksama nasihat Imam al-Khatîb al-Baghdadi tentang adab-adab utama yang seharusnya dimiliki oleh para penuntut ilmu. Beliau berkata, semestinya para penuntut ilmu hadits (berusaha) membedakan (antara) dirinya dengan kebiasaan orang-orang awam dalam semua urusan (tingkah laku dan sikap)nya, dengan (berusaha) mengamalkan petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam semaksimal mungkin, dan membiasakan dirinya mengamalkan sunnah-sunnahnya, karena sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman:

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu" [al-Ahzâb/33:21]

Kemudian al-Khatîb al-Baghdadi membawakan beberapa atsar (riwayat) dari ulama Salaf, di antaranya ucapan Imam al-Hasan al-Bashri raimahullah : “Dahulu, jika seseorang menuntut ilmu agama, maka tidak lama kemudian terlihat (pengaruh ilmu tersebut) pada sifat khusyu’ (tunduk)nya (kepada Allah), tingkah lakunya, ucapannya, pandangannya dan (perbuatan) tangannya”.

Juga atsar dari Imam Ahmad bin Hambal, ketika ada seorang penuntut ilmu yang bermalam di rumah beliau, maka Imam Ahmad menyiapkan air (untuk berwudhu), kemudian paginya Imam Ahmad datang kepada tamunya tersebut dan mendapati air yang beliau siapkan tidak berkurang sama sekali, maka beliau berkata: “Subhanallah (Maha Suci Allah)! Seorang penuntut ilmu tidak melakukan wirid (dzikir dan shalat) pada malam hari?!”

Demikianlah, petunjuk para ulama Salaf dalam menjalankan agama ini; yang kita mengaku menisbatkan diri kepada manhaj mereka, akan tetapi sudahkah kita menerapkan petunjuk mereka dalam diri kita?

Semoga tulisan ini menjadi koreksi dan penambah motivasi bagi kita untuk lebih semangat mencari ilmu yang bermanfaat, dan berusaha melatih diri mengamalkan ilmu tersebut, serta tidak lupa banyak berdoa kepada Allah Azza wa Jalla, agar kita diberi kemudahan dalam menempuh manhaj yang lurus ini.

Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan berdoa kepada Allah Azza wa Jalla, semoga Dia senantiasa melimpahkan taufik dan petunjuk-Nya kepada kita, sehingga kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang mengikuti petunjuk para ulama Salaf dengan kebaikan, serta menjadikan diri kita tetap istiqamah di atas manhaj yang lurus ini sampai akhir hayat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Metode beragama yang telah ditempuh oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para ulama Ahlus-Sunnah yang mengukuti petunjuk mereka.
[2]. Tafsir Ibnu Katsir, 4/432.
[3]. Artinya kerancuan dan kesalahpahaman dalam memahami agama Islam, yang disebabkan ketidakmampuan membedakan antara yang benar dan yang batil (salah). Lihat keterangan Ibnul-Qayyim dalam kitabnya Igâtsatul-Lahafân, hlm. 40 –Mawâridul-Amân.
[4]. Artinya memperturutkan keinginan nafsu yang buruk dan mendahulukannya daripada petunjuk Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam.
[5]. Kerusahan dalam ilmu dan pemahaman.
[6]. Kerusakan dalam amal.
[7]. Lihat keterangan Ibnul-Qayyim dalam kitab Miftahu Dâris-Sa’âdah, 1/40.
[8]. HR Abu Dawud (no. 4607), at-Tirmidzi (no. 2676), Ibnu Majah (no. 42 dan 43) dan al-Hakim (no. 329) dan lain-lain, dari sahabat yang mulia al ‘Irbaadh bin Saariyah Radhiyallahu 'anhu. Riwayat ini dinyatakan shahîh oleh at- Tirmidzi, al-Hakim, dan disepakati oleh adz-Dzahabi, begitu pula Syaikh al-Albâni dalam ash-Shahîhah (no. 937).
[9]. Beliau ialah seorang Tabi’in senior yang terpercaya dan teliti dalam meriwayatkan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga riwayat hadits beliau dicantumkan oleh para imam ahli hadits dalam kitab-kitab hadits mereka, seperti halnya al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasâ`i, dan lain-lain. Beliau wafat pada sekitar tahun 73 atau 74 H. Biogarafi beliau terdapat di dalam kitab Tahdzîbul-Kamala (14/408), Siyaru A’lâmin Nubalâ` (4/267), dan Taqrîbut-Tahdzîb (hlm. 250).
[10]. Atsar ini dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam Siyaru A’lâmin Nubalâ` (4/269). Dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama ‘Atha` bin as-Saaib al-Kuufi. Ibnu Hajar di dalam kitab Taqrîbut-Tahdzîb (hlm. 250) berkata tentang perawi ini: “Dia adalah seorang yang sangat jujur, akan tetapi (hafalannya) tercampur”.
Meskipun demikian, perawi yang meriwayatkan darinya dalam atsar ini ialah Hammâd bin Zaid al-Bashri yang meriwayatkan darinya sebelum hafalannya tercampur, sebagaimana ucapan Imam Ali bin al-Madîni dan al-‘Uqaili (lihat kitab Tahdzîbul-Kamâl, 7/185). Riwayat ini juga dikuatkan dengan riwayat lain dari ucapan sahabat yang mulia 'Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu, yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya (1/60) dengan sanad yang semua perawinya terpercaya, akan tetapi Sulaiman bin Mihraan al-A’masy meriwayatkannya dengan ‘an’anah, sedangkan ia seorang mudallis.
[11]. Biografi beliau dalam Tahdzîbul-Kamâl (9/70) dan Siyaru A’lâmin Nubalâ` (4/258).
[12]. Siyaru A’lâmin Nubalâ` (4/258), juga dinukil oleh al-Mîzi dalam Tahdzîbul-Kamâl (9/72) dan Ibnu Hajar dalam kitab Taqrîbut-Tahdzîb (hal. 157).
[13]. Biografi beliau dalam Tahdzibul-Kamal (25/344) dan Siyaru A’lâmin Nubalâ` (4/606).
[14]. Lihat Siyaru A’lâmin Nubalâ` (4/610). Sifat beliau ini menunjukkan bahwa beliau ialah wali (kekasih) Allah Azza wa Jalla, karena Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Wali (kekasih) Allah ialah seseorang yang jika (manusia) memandangnya maka mereka akan ingat kepada Allah”. HR ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (no. 12325), Dhiya’uddin al-Maqdisi dalam al-Ahâditsul-Mukhtârah (2/212), dan lain-lain. Hadits ini dinyatakan kuat oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shahîhah (no. 1733) karena diriwayatkan dari jalur lain yang saling menguatkan.
[15]. Biografi beliau terdapat dalam Tahdzibul-Kamal (4/342) dan Siyaru A’lâmin Nubalâ` (5/220).
[16]. Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (no 35679). Semua perawinya terpercaya kecuali Zaid bin Dirham al-Bashri; tidak ada seorang imampun yang menyatakannya sebagai orang yang terpercaya kecuali Ibnu Hibban yang menyebutkannya dalam kitab ats-Tsiqât (4/247).
[17]. HR Ibnu Majah (no. 237) dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam kitab as-Sunnah (no. 251). Dinyatakan hasan (baik) oleh Syaikh al-Albâni dalam ash-Shahîhah (no. 1332) karena diriwayatkan dari berbagai jalur lain yang saling menguatkan.
[18]. Biografi beliau dalam Tahdzibul-Kamal (16/5) dan Siyaru A’lâmin Nubalâ` (8/378).
[19]. Lihat Tahdzibul-Kamal (16/16) dan Siyaru A’lâmin Nubalâ` (8/390).
[20]. Lihat kitab beliau, al-Jâmi’ li Akhlâqir-Râwi wa Âdâbis-Sâmi’ (1/215).